Menjadi Wija to Luwu bukan hanya tentang tempat asal, tapi tentang identitas, sejarah, dan tanggung jawab. Di tengah dunia yang terus berubah, warisan ini menjadi jangkar — mengingatkan kita dari mana kita datang, dan ke mana kita harus melangkah.
Di belahan timur Pulau Sulawesi, tersembunyi sebuah identitas kultural yang kokoh menembus batas zaman: Wija to Luwu — anak-anak keturunan Luwu.
Meski tanah Luwu kini terbagi ke dalam empat wilayah administratif (Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo), semangat kolektif sebagai “Wija to Luwu” tetap mengikat seluruh keturunannya dalam satu napas sejarah dan budaya.
Uniknya, penyebutan “Wija to Luwu” (sering disingkat WTL) tetap digunakan oleh semua orang yang berasal dari wilayah ini, walau berasal dari berbagai suku, bahasa, dan latar belakang budaya yang berbeda.
Bahkan, dalam dialek atau aksen tertentu, istilah ini kadang diucapkan sebagai “Bija to Luwu”, namun maknanya tetap sama — sebuah pengakuan identitas, rasa memiliki, dan kebanggaan terhadap tanah leluhur: Tana Luwu, atau yang kini lebih populer disebut sebagai Luwu Raya.
Lebih dari Sekadar Identitas: Sebuah Kesadaran Sejarah
Dua perayaan penting yang selalu menjadi momen refleksi bersama bagi Wija to Luwu adalah Hari Jadi Luwu (HJL) dan Hari Perlawanan Rakyat Luwu (HPRL), yang keduanya diperingati setiap bulan Januari.
HJL menjadi pengingat bahwa Kedatuan Luwu — kerajaan tertua di Sulawesi — telah berusia lebih dari 1.000 tahun dan masih hidup dalam nilai-nilai, simbol, dan struktur sosial masyarakatnya hingga hari ini.
Berbeda dari kerajaan-kerajaan besar Nusantara lain seperti Sriwijaya atau Majapahit yang kini hanya dikenang dalam buku sejarah, Kedatuan Luwu tetap eksis dalam bentuk tradisi, narasi budaya, dan kepemimpinan adat yang terus dijaga.
Referensi akademik seperti karya Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce menyebut Luwu sebagai bagian penting dari jaringan dagang dan kekuasaan di Sulawesi pada abad-abad awal perkembangan Islam dan kolonialisme.
Hari Perlawanan dan Tugu Pengingat
Sementara itu, HPRL memperingati keberanian rakyat Luwu dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajahan Belanda, khususnya pasca-Proklamasi 1945.
Tugu Toddopuli Temma Lara berdiri sebagai simbol pengingat tentang keberanian, pengorbanan, dan integritas para pejuang dari tanah Luwu.
Falsafah yang hidup di kalangan masyarakat Luwu, seperti “Alebbireng na Tana Luwu” (kemuliaan tanah Luwu), bukan hanya menjadi jargon, melainkan prinsip hidup yang menjiwai kepemimpinan dan pengabdian sosial.
Dalam nilai ini terkandung makna bahwa siapa pun yang mendapat amanah — baik kecil maupun besar — harus melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab, bahkan jika nyawa sekalipun menjadi taruhannya.
Identitas dalam Arus Modernitas
Di tengah gempuran modernitas dan globalisasi, identitas sebagai Wija to Luwu menjadi jangkar moral sekaligus kompas budaya.
Ia mengingatkan bahwa membanggakan sejarah bukan berarti larut dalam romantisme masa lalu, melainkan mengambil inspirasi dari keteladanan leluhur untuk membangun masa depan yang lebih bermartabat.
Identitas ini tak hanya penting bagi orang Luwu yang masih menetap di Sulawesi Selatan, tetapi juga bagi diaspora WTL yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia dan luar negeri.
Dalam berbagai komunitas perantauan, istilah Wija to Luwu menjadi tali pengikat solidaritas dan semangat kolektif untuk tetap menjaga nilai-nilai asal-usul mereka.
Menjadi Wija to Luwu berarti memikul tanggung jawab historis dan kultural untuk menjaga nilai-nilai warisan leluhur.
Tetapi lebih dari itu, ia adalah ajakan untuk bersatu dalam keberagaman, menjunjung nilai moral, dan menyulam masa depan dengan kebanggaan yang berakar dalam sejarah yang kaya dan berwibawa.
“Tana Luwu bukan sekadar tanah kelahiran, tapi tanah kemuliaan. Dan setiap Wija to Luwu memikul tanggung jawab untuk menjaganya.”
Referensi:
- Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680 (Yale University Press).
- M. Ridwan Alimuddin. Jalur Rempah dan Kedatuan Luwu (Makassar: Penerbit Oksigen).