INDONESIA sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, tengah menghadapi ujian berat dalam mempertahankan nilai-nilai fundamentalnya.
Dalam sepekan terakhir, dua peristiwa besar mengguncang panggung politik nasional, yakni meningkatnya intimidasi terhadap jurnalis dan semakin kuatnya peran militer dalam pemerintahan.
Kedua fenomena ini tidak hanya mengundang keprihatinan dalam negeri, tetapi juga mendapat sorotan dari dunia internasional.
Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi, sedangkan supremasi sipil atas militer merupakan fondasi reformasi politik yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.
Namun, jika tren yang terjadi saat ini terus berlanjut tanpa kontrol yang jelas, Indonesia berisiko mengalami kemunduran demokrasi yang serius.
Teror terhadap Jurnalis: Upaya Membungkam Kebenaran?
Ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia semakin nyata setelah kasus yang menimpa jurnalis investigasi Tempo, Francisca Christy Rosana. Ia menjadi korban teror dalam bentuk ancaman fisik dan digital setelah menerbitkan laporan investigasi terkait dugaan penyimpangan kebijakan pemerintah.
Francisca menerima paket berisi kepala babi dan enam ekor tikus tanpa kepala—sebuah metode intimidasi yang terkesan simbolik, namun mengandung pesan mengerikan.
Selain itu, informasi pribadinya, termasuk alamat rumah, nomor telepon, dan detail keluarganya, disebarluaskan di internet melalui praktik doxing, yang bertujuan untuk mengancam keselamatannya.
Insiden ini langsung mendapat kecaman dari berbagai organisasi jurnalisme, baik dalam maupun luar negeri. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan bahwa teror ini merupakan bukti nyata meningkatnya risiko yang dihadapi jurnalis saat menjalankan tugasnya.
Committee to Protect Journalists (CPJ), organisasi internasional yang berbasis di New York, juga mengutuk keras tindakan ini dan mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mengusut kasus ini.
Namun, hingga kini, respons dari pihak berwenang masih minim. Jika kasus ini tidak ditangani dengan serius, akan muncul preseden berbahaya: bahwa ancaman terhadap jurnalis bisa dilakukan tanpa konsekuensi hukum yang jelas.
Jika ini terjadi, bukan hanya kebebasan pers yang terancam, tetapi juga hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang akurat dan transparan.
Kebebasan Pers: Pilar Demokrasi yang Mulai Rapuh
Indonesia selama ini dikenal sebagai salah satu negara dengan pers yang relatif bebas dibandingkan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Namun, laporan dari Reporters Without Borders (RSF) menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, indeks kebebasan pers Indonesia mengalami penurunan.
Menurut data RSF, Indonesia kini berada di peringkat 108 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024.
Salah satu faktor utama penyebab kemerosotan ini adalah meningkatnya intimidasi terhadap jurnalis, baik dalam bentuk ancaman fisik, peretasan digital, maupun tuntutan hukum yang bertujuan membungkam kritik.
Lemahnya perlindungan terhadap jurnalis menimbulkan efek domino. Ketakutan akan ancaman membuat media cenderung melakukan self-censorship, yaitu menyaring atau membatasi pemberitaan kritis agar tidak menghadapi risiko.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, fungsi pers sebagai pengawas kekuasaan (watchdog) akan semakin melemah, dan masyarakat akan kehilangan salah satu alat utama untuk mengawasi kebijakan pemerintah.
Kebangkitan Militer dalam Pemerintahan: Kembali ke Masa Lalu?
Di sisi lain, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan kecenderungan mengembalikan peran militer dalam urusan sipil.
Sejumlah kebijakan terbaru membuka kembali ruang bagi perwira aktif untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, sebuah praktik yang mengingatkan pada era dwifungsi ABRI di masa Orde Baru.
Salah satu kebijakan yang menuai kontroversi adalah revisi undang-undang yang memungkinkan perwira aktif menduduki jabatan sipil, yang sebelumnya dilarang sebagai bagian dari reformasi militer pasca-1998.
Langkah ini dianggap sebagai kemunduran demokrasi, karena berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil dalam sistem pemerintahan.
Selain itu, perluasan peran militer juga terlihat dalam berbagai aspek lain, termasuk penempatan perwira aktif di kementerian dan lembaga pemerintahan, termasuk di sektor yang sebelumnya murni sipiL.
Peningkatan operasi militer di berbagai wilayah, dengan dalih menjaga stabilitas keamanan, namun tanpa mekanisme pengawasan yang kuat dari pihak sipil, serta retorika politik yang semakin mengarah pada glorifikasi peran militer, yang berisiko menghidupkan kembali kultur otoritarianisme.
Para pengamat politik dan aktivis hak asasi manusia memperingatkan bahwa tren ini bisa mengarah pada kembalinya kontrol militer terhadap kehidupan sipil, yang bertentangan dengan prinsip reformasi yang diperjuangkan sejak kejatuhan Orde Baru.
Apa Dampaknya bagi Demokrasi Indonesia?
Kedua fenomena ini—intimidasi terhadap jurnalis dan ekspansi peran militer dalam pemerintahan—menunjukkan pola yang mengkhawatirkan: melemahnya kontrol terhadap kekuasaan.
Kebebasan pers yang terancam berarti minimnya transparansi dan akuntabilitas pemerintah, karena kritik dan pengawasan dari media akan semakin sulit dilakukan.
Sementara itu, bangkitnya peran militer dalam pemerintahan bisa menciptakan kultur otoritarianisme baru, yang pada akhirnya akan membatasi kebebasan sipil.
Jika situasi ini tidak segera ditangani, Indonesia bisa mengalami kemunduran demokrasi yang signifikan. Sejarah telah membuktikan bahwa ketika kebebasan pers dan supremasi sipil dilemahkan, maka langkah selanjutnya adalah pembatasan hak-hak politik dan kebebasan berpendapat.
Apa yang Harus Dilakukan?
Untuk mencegah kemunduran demokrasi, ada beberapa langkah yang perlu diambil:
Pertama, pemerintah harus menjamin perlindungan terhadap jurnalis, dengan menindak tegas pelaku intimidasi dan memberikan jaminan hukum bagi kebebasan pers.
Kedua, masyarakat sipil dan organisasi HAM harus terus melakukan pengawasan dan advokasi, memastikan bahwa suara kritis tidak dibungkam oleh ketakutan.
Ketiga, reformasi militer harus tetap dijaga, dengan memperketat aturan mengenai keterlibatan tentara dalam urusan sipil dan memperkuat kontrol sipil atas institusi militer.
Keempat, media harus tetap berani melaporkan kebenaran, meskipun menghadapi ancaman. Solidaritas antarjurnalis dan lembaga pers menjadi kunci dalam menghadapi tekanan politik.
Mencegah Kemunduran Demokrasi
Indonesia kini berada di titik persimpangan. Apakah kita akan mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah, ataukah membiarkan kebebasan kita terkikis perlahan-lahan?
Kebebasan pers dan supremasi sipil bukan sekadar prinsip abstrak, tetapi elemen kunci yang menentukan masa depan negara ini.
Jika kita tidak bertindak sekarang, maka bukan tidak mungkin kita akan kembali ke era di mana suara rakyat dibungkam, dan kekuasaan berjalan tanpa pengawasan.
Indonesia tidak boleh mundur ke belakang. Demokrasi harus terus diperjuangkan.