Sudah sekitar 5 tahun terakhir, saya sekeluarga melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, serta hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, mengikuti penetapan waktu oleh Muhammadiyah.
Alhamdulillah, rasa-rasanya ibadah lebih tenang karena ada kepastian mengenai waktu jauh-jauh hari sebelumnya.
Memilih secara sadar untuk mengikuti keputusan metode Hisab dari Muhammadiyah, tentunya bukan tanpa alasan dan pertimbangan tertentu.
Pilihan ini pun, tidak lantas menafikkan atau menyalahkan metode Rukyat yang juga punya dalil dan penjelasan yang rasional.
Metode Hisab Muhammadiyah
Uraian mengenai metode Hisab Muhammadiyah termaktub dengan sangat baik dalam penjelasan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Prof. Dr. Syamsul Anwar, yang disarikan dari pengajian Ramadhan PP Muhammadiyah tahun 1431 H di UMY silam.
Hisab yang dipakai Muhammadiyah adalah Hisab Wujud al Hilal, yakni metode menetapkan awal bulan baru yang menegaskan bahwa bulan Qamariyyaah baru dimulai apabila telah terpenuhi tiga parameter.
Ketiga parameter itu adalah (1) Telah terjadi konjungsi atau ijtima’, (2) Ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam, bulan berada di atas ufuk.
Nah, mengapa Muhammadiyah bersikukuh memakai metode hisab?
Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan Hisab.
Hal ini ada dalam ayat:
“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.” (QS. Ar Rahmaan ayat 5)
Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyaknya kegunaannya.
Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa, kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah SAW menggunakan Rukyat?
Menurut Syaikh M. Rasyid Ridho (Syaikh Ahlus Sunnah/Salafiyyiin Mesir), dan Syaikh Mustafa Az Zarqa, perintah melakukan Rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan).
Ilat perintah Rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi, tidak kenal baca tulis, dan tidak memungkinkan melakukan Hisab.
Ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim:
“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi. Kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari.”
Dalam kaidah Fiqhiyyaah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan Hisab, maka berlaku perintah Rukyat.
Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahli Hisab), maka perintah Rukyat tidak berlaku lagi.
Yusuf Al Qaradhawi (Ketua Ikatan Ulama Sedunia) menyebut bahwa Rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana.
Syaikh Muhammad Syakir, Ahli Hadits dari Mesir – yang oleh Syaikh Al Qaradhawi disebut sebagai seorang Salafi murni – menegaskan bahwa menggunakan Hisab untuk menentukan bulan Qamariyyaah adalah wajib dalam semua keadaan. Kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui Hisab.
Ketiga, dengan Rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender.
Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1.
Dr. Nidhal Guessoum (Astrofisikawan dari Aljazair / Professor di American University of Sharjah, Uni Emirat Arab) menyebut, suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas.
Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang distrukturkan dengan baik.
Keempat, Rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global.
Sebaliknya, Rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariyyaah, termasuk bulan-bulan ‘ibadah. Hal ini karena Rukyat pada visibilitas pertama tidak mampu menjangkau seluruh muka bumi.
Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat, tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat.
Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajat dan di bawah lintang selatan 60 derajat adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat Hilal untuk beberapa waktu lamanya, atau terlambat dapat melihatnya, yakni ketika bulan telah besar.
Apalagi kawasan lingkaran Artik dan lingkaran Antartika yang siang pada musim panas melabihi 24 jam, dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
Kelima, jangkauan Rukyat terbatas, di mana hanya dapat diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam.
Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu Rukyat di kawasan sebelah barat, yang jaraknya lebih dari 10 jam.
Akibatnya, Rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariyyaah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya.
Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi Rukyat di suatu tempat, maka Rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi.
Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta Astronomis, di zaman sekarang, saat ilmu Astronomi telah mengalami kemajuan pesat.
Jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
Keenam, Rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah.
Dapat terjadi di Makkah belum terjadi Rukyat, sementara di kawasan sebelah barat sudah.
Atau di Makkah sudah Rukyat, tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga dapat terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah, dalam memasuki awal bulan Qamariyyaah.
Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah. Karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu.
Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah, padahal Hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau-balau.
Argumen-argumen di atas menunjukkan bahwa Rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras di seluruh dunia.
Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian system waktu Islam di dunia internasional, sekarang muncul seruan agar kita menggunakan Hisab dan tidak lagi menggunakan Rukyat.
Temu pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam (Ijtima’ al Khubara’ as Sani li Dirasat Wad at Taqwimal Islami) tahun 2008 di Maroko dalam kesimpulan dan rekomendasi (at Taqrir al Khittami wa at Tausyiyah), menyebutkan:
“Masalah penggunaan Hisab: para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan Qamariyyaah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan, kecuali berdasarkan penerimaan terhadap Hisab dalam menetapkan awal bulan Qamariyyaah. Seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu shalat.”
________________
Hisab memang tidak menjadi metode utama yang digunakan Nabi Muhammad SAW tatkala meninjau awal bulan. Namun isyarat-isyarat di dalam literatur al-Quran dan al-Hadis telah menunjukkan bahwa Hisab merupakan metode yang kuat secara nash.