PEMILIHAN rektor di perguruan tinggi negeri, termasuk di Universitas Hasanuddin saat ini, sering menjadi cermin unik dari dinamika politik kampus.
Politik kampus yang dimaksudkan di sini bukanlah politik dalam pengertian partisan, tetapi politik dalam arti paling mendasar, yakni pertarungan gagasan, pengaruh, dan legitimasi kepemimpinan.

Dalam ruang akademik, petahana dan rivalnya bergerak dalam lanskap yang berbeda dari arena politik elektoral murni seperti pilkada.
Namun, keduanya tetap tunduk pada logika yang sama, yakni bagaimana mendapatkan kepercayaan publik dengan cara yang paling meyakinkan.
Petahana, dalam setiap kontestasi, selalu membawa beban sejarah. Ia dinilai bukan dari janji, melainkan dari capaian konkret selama masa kepemimpinannya.
Di satu sisi, hal ini merupakan keunggulan — sebab ia memiliki bukti kerja dan jaringan legitimasi yang sudah terbangun. Tetapi di sisi lain, hal ini juga menjadi batu ujian.
Kinerja yang dianggap biasa-biasa saja dapat dengan cepat berubah menjadi senjata politik bagi rival, terutama di lingkungan akademik yang terbiasa menimbang berdasarkan data, rasionalitas, dan hasil nyata.
Namun demikian, politik akademik (juga) tidak semata rasional. Di balik segala tata krama intelektual dan indikator kinerja, faktor emosional dan kedekatan personal juga berperan penting.
Dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa, tak sepenuhnya bebas dari preferensi yang dibentuk oleh pengalaman interpersonal — apakah mereka merasa didengar, dihargai, atau dilibatkan dalam kebijakan kampus.
Karena itu, petahana tidak hanya diuji oleh capaian institusional, tetapi juga oleh persepsi relasional, yakni sejauh mana ia hadir bagi sivitasnya.
Sementara itu, posisi rival selalu lebih leluasa. Ia datang dengan energi baru, membawa semangat perubahan, dan menawarkan narasi alternatif.

Rival tidak dibebani oleh rekam jejak konkret, sehingga ruang manuvernya lebih luas. Ia dapat mengkritik tanpa harus mempertanggungjawabkan hasil.
Tetapi dalam lingkungan akademik, rival juga dituntut untuk menunjukkan kapasitas dan kedalaman gagasan, bukan sekadar slogan perubahan.
Sebab civitas akademika, dengan segala rasionalitas dan tradisinya, cenderung alergi terhadap retorika kosong.
Di titik inilah perbedaan antara politik kampus dan politik elektoral menjadi jelas.
Dalam pilkada, popularitas dan kedekatan emosional sering kali lebih menentukan daripada rasionalitas program. Sedangkan di lingkungan akademik, reputasi ilmiah, kredibilitas manajerial, dan kualitas visi kelembagaan masih menjadi ukuran utama.
Meskipun dinamika lobi dan preferensi personal tak bisa dihapuskan, tetapi ruang deliberasi gagasan jauh lebih hidup dan substantif.
Petahana di kampus idealnya tidak hanya mempertahankan kekuasaan, tetapi juga menawarkan kontinuitas dan kedewasaan kelembagaan.
Petahana harus mampu memposisikan diri bukan sebagai “penguasa universitas”, melainkan sebagai penjaga arah institusi — memastikan bahwa transformasi yang dimulai tidak berhenti di tengah jalan.
Sebaliknya, rival harus membuktikan bahwa gagasan pembaruannya tidak sekadar reaktif terhadap kebijakan lama, melainkan berakar pada visi akademik yang berjangka panjang dan berkelanjutan.
Dalam kontestasi seperti ini, pilihan tidak semestinya jatuh pada siapa yang paling pandai berjanji, tetapi pada siapa yang paling mampu mewakili cita-cita universitas sebagai ruang pencarian kebenaran dan kemaslahatan ilmu.
Karena pada akhirnya, keberhasilan seorang rektor — entah petahana atau pendatang baru — tidak diukur dari seberapa banyak ia memenangkan hati, melainkan seberapa jauh ia mengarahkan universitas menuju martabat ilmu pengetahuan dan kemanusiaan yang sesungguhnya. (*)
Mantap