Judul asli tulisan ini adalah “Ius Constituendum UU 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal”. File lengkap dapat diunduh di sini.
Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Saat ini setidaknya 70% dari sekitar 250 juta jiwa total jumlah penduduk Indonesia adalah muslim. Karena itu, dunia internasional menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara Islam terbesar di dunia.[1]
Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, pemerintah Indonesia seharusnya harus memberikan porsi perhatian yang lebih atas segala kebutuhan masyarakat berdasarkan pada tuntunan agama Islam. Salah satunya adalah perihal kehalalan setiap produk yang digunakan atau dikonsumsi oleh masyarakat muslim Indonesia.
Masyarakat muslim Indonesia memiliki hak konstitusional untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap pangan dan produk lainnya sesuai dengan keyakinan agamanya sebagaimana telah diatur dengan jelas di dalam Pasal 28 E ayat (1)[2] dan Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.[3] Oleh karena itu mereka perlu diberi perlindungan hukum berupa jaminan kehalalan pangan yang dikonsumsi dan produk lain yang digunakan.
Umat Islam harus memperoleh perlindungan atas ketenteraman dan keamanan batin dalam menjalankan sebagian aturan agama yang menjadi keyakinannya, sebagaimana juga agama lainnya. Ketenteraman dan keamanan merupakan hak dari masyarakat.
Salah satu fungsi hukum yang penting adalah menjamin tegaknya keadilan. Keadilan dapat digambarkan sebagai suatu keadilan keseimbangan yang membawa ketenteraman setiap orang yang jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.[4]
Ajaran Islam sangat mementingkan kebaikan dan kebersihan dalam semua aspek. Dari segi makanan dan barang gunaan, Islam memerintahkan umatnya agar memakan dan menggunakan bahan-bahan yang baik, suci, dan bersih. Dalam Al-Qur”an terdapat banyak ayat yang memerintahkan, antara lain yang artinya:
“Wahai orang yang beriman, makanlah dari benda-benda yang baik (yang halal) yang telah kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah jika betul kamu hanya beribadah kepada-Nya” (QS.2: 172).[5]
Di dalam ajaran Islam, makanan merupakan tolok ukur dari segala cerminan penilaian awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk perilaku seseorang. Makanan bagi umat Islam tidak sekedar sarana pemenuhan kebutuhan secara lahiriah semata, akan tetapi juga bagian dari kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi. Bagi seorang muslim, setiap makanan yang masuk ke dalam tubuhnya wajib bernilai halal, mulai dari sumbernya, tata cara pengelolaannya hingga proses mengkonsumsinya.
Dengan demikian halal-haram bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan masalah yang amat penting dan mendapat perhatian besar dalam ajaran agama Islam. Karena masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Allah SWT, seorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi sesuatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya.
Mengkonsumsi yang haram atau yang belum diketahui kehalalannya akan berakibat buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi masalah ini mengandung dimensi duniawi dan sekaligus ukhrawi.
Bagi umat Islam, mengkonsumsi pangan dan produk lainnya bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisik akan tetapi terdapat tujuan lain yang lebih utama yaitu ibadah dan bukti ketaatan kepada Allah SWT dengan cara menegakkan ajaran Islam melalui pengungkapan maqasid al syar’iah.[6]
Al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber hukum umat Islam telah jelas dan terang menetapkan bahwa ada pangan dan produk lainnya yang halal dikonsumsi dan digunakan, dan sebaliknya ada pangan dan produk lainnya yang haram dikonsumsi dan digunakan, serta bahan pangan dan produk lainnya hasil olahan rekayasa genetik yang dapat menimbulkan keraguan mengenai halal-haramnya.
Terkait dengan begitu fundamentalnya persoalan kehalalan produk ini, maka negara harus memberikan perlindungan spesifik yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Ketentuan di dalam Undang-undang Nomor. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, belum memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta pemenuhan hak asasi manusia untuk beribadat menurut agamanya dalam hal mengkonsumsi pangan dan menggunakan produk lainnya yang dijamin kehalalannya secara yuridis.
Karena itulah, pada tanggal 17 Oktober 2014 pemerintah mengesahkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang secara prinsipil mengatur bahwa setiap produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia harus memiliki sertifikat halal.[7]
Sertifikat halal produk yang dimaksud adalah yang dikeluarkan secara resmi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), lembaga yang khusus dibentuk pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Produk Halal yang kedudukannya di bawah dan bertanggung jawab kepada Kementerian Agama.[8]
Hanya saja, hingga kini sejumlah masalah masih menghambat terwujudnya cita-cita hukum dari UU ini, termasuk belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjabarkan teknis pelaksanaan UU Jaminan Produk Halal. Padahal, undang-undang tersebut mengamanatkan aturan tersebut harus sudah disahkan paling lama dua tahun sejak undang-undang terbentuk, yakni tahun 2016 lalu.
Jika ditinjau dari perspektif hukum positif Indonesia, maka keberadaan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal untuk menjamin kehalalan setiap produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia selain sebagai ius constitutum karena sudah diundangkan secara resmi, juga sesungguhnya masih merupakan ius constituendum karena menggambarkan cita-cita hukum yang belum terwujud dengan baik.
Jaminan produk halal sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ini adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal. Hanya saja, implementasi UU ini belum berjalan efektif hingga saat ini karena berbagai sebab.
Masih banyak hal yang perlu dilengkapi agar peraturan ini bisa berjalan optimal di seluruh lapisan masyarakat sehingga cita-cita perlindungan terhadap masyarakat muslim Indonesia atas produk yang dijamin kehalalannya bisa terwujud dengan baik sesuai dengan yang diharapkan bersama.
UU Jaminan Produk Halal
UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) dinyatakan mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggal 17 Oktober 2014. Tetapi pelaksanaannya dilakukan secara bertahap sebagaimana tersirat dalam ketentuan Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 67.
Jadi, agar bisa berjalan secara efektif, UU Nomor 33 Tahun 2014 mensyaratkan beberapa hal, yaitu:
- Peraturan Pelaksanaan yang harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diundangkan, yakni paling lambat 17 Oktober 2016.[1]
- Pembentukan Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang harus dilakukan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Undang-undang ini, yakni tahun 2017. [2]
- Kewajiban bagi produk yang beredar dan diperdagangkan di seluruh Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini mulai berlaku 5 (lima) tahun sejak diundangkan, yaitu mulai tahun 2019 mendatang. [3]
Dari ketiga prakondisi untuk implementasi UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di atas, yang baru ada hanyalah Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2015 dan baru diresmikan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada tanggal 11 Oktober 2017.
Sementara hingga kini belum satupun peraturan turunan yang diterbitkan oleh pemerintah padahal sudah jauh melewati tenggat waktu yang ditentukan oleh Undang-undang. Setidaknya diperlukan adanya 2 Peraturan Pemerintah (PP) dan 14 Peraturan Menteri (Permen) untuk mengimplementasikan UU JPH ini sebagaimana diakui sendiri oleh Ketua BPJPH Prof. Ir. Sukoso. [4]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan UU JPH ini masih berupa ius constituendum karena belum berlaku efektif di masyarakat akibat belum lengkapnya aturan-aturan untuk implementasinya di lapangan. Sebagai ius constituendum, UU JPH jelas mengandung cita-cita hukum di masa mendatang yang hendak dicapai, yakni terwujudnya perlindungan hukum terhadap setiap warga negara muslim Indonesia terhadap produk-produk yang tidak halal.
UU JPH mewajibkan setiap produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia adalah halal yang dibuktikan dengan adanya sertifikat halal yang diterbitkan oleh Badan Pengelola Jaminan Produk Halal.
Sementara jikapun kelengkapan peraturan turunan dari UU JPH ini sudah ada dan berjalan dengan baik, maka tetap saja UU JPH mengandung sejumlah norma yang sesungguhnya lebih condong sebagai ius constituendum daripada sebagai ius constitutum.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan bahwa “Produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”.
Yang dimaksudkan produk dalam ketentuan ini adalah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 yakni “Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat”.[5]
Dapat dilihat bahwa kewajiban sertifikasi halal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU JPH menyasar “produk” yang benar-benar sangat luas cakupannya dan karena itu pasti membutuhkan proses yang cukup lama untuk bisa terwujud dengan baik.
Apalagi jika merujuk pada ketentuan Pasal 1 UU JPH yang seakan tidak melewatkan satupun bentuk produk; baik itu produk yang masuk (impor), produk yang beredar dan produk yang diperdagangkan di Indonesia, semuanya wajib bersertifikat halal.
Belum lagi jika ditinjau dari segi cakupan wilayah hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 UU JPH yaitu di seluruh Indonesia; dari Sabang sampai Merauke, dari kota hingga ke pelosok-pelosok desa.
Luasnya cakupan wilayah hukum implementasi UU JPH ini bukanlah pekerjaan yang mudah diwujudkan karena dipengaruhi oleh sangat banyak faktor. Tetapi setidaknya hal ini telah menggambarkan sebuah cita-cita hukum ideal yang diharapkan terwujud di masa mendatang (ius constituendum).
Hambatan dan Tantangan Implementasi UU Jaminan Produk Halal
Hadirnya UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) sebenarnya membawa kabar gembira bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Dengan UU ini, rasa khawatir akan ketidakpastian status halal setiap produk yang dikonsumsi atau digunakan dalam kehidupan sehari-hari bisa dikurangi sehingga setiap muslim bisa menjalankan ibadah dengan hati yang tenang.
Hanya saja, keberadaan UU JPH tidak serta merta dapat terimplementasi dengan menyasar setiap “produk” di seluruh Indonesia. Berbagai hambatan dan tantangan menghadang pelaksanaan peraturan yang mulia ini. Sebagai sebuah produk hukum, implementasi UU JPH tentu tidak bisa terlepas dari teori sistem hukum yang diungkapkan oleh Lawrance Meir Friedman, seorang ahli sosiologi hukum Stanford University.
Friedman menyatakan bahwa dalam sistem hukum ada 3 komponen penting yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal culture).[6] Dengan menggunakan 3 komponen hukum Friedman ini, kita bisa menganalisa hambatan dan tantangan implementasi sebuah produk hukum.
C.1. Substansi Hukum
Substansi hukum merupakan norma, aturan dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum, termasuk produk hukum yang dihasilkan dalam sistem tersebut yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Dalam konteks karya tulis ini, maka substansi hukumnya adalah UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan semua aturan turunan yang dibutuhkan untuk implementasi Undang-undang tersebut.
Jika ditelaah dari sisi legal substance, jelas terlihat bahwa UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal belum sepenuhnya memenuhi syarat, khususnya akibat belum dikeluarkannya peraturan turunan sebagai acuan pelaksanaan Undang-undang ini. Masih dibutuhkan setidaknya 19 peraturan pelaksanaan yang terdiri atas delapan peraturan pemerintah (PP), dan 11 peraturan menteri (Permen).[7]
Peraturan Pemerintah (PP)
Ada 8 Peraturan Pemerintah yang dibutuhkan untuk implementasi UU JPH, antara lain:
- Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan “kerja sama BPJPH dengan Kementerian, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).” Pembuatan PP ini diamanatkan oleh Pasal 11 UU JPH.[8]
- Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 16 UU JPH.[9]
- Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan lokasi, tempat dan alat Proses Produk Halal (PPH), sebagaimana diamanatkan Pasal 21 ayat (3) UU JPH.[10]
- Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan biaya sertifikasi halal, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 44 ayat (3) UU JPH.[11]
- Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan kerja sama JPH secara internasional, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 46 ayat (3) UU JPH.[12]
- Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan tata cara registrasi produk halal luar negeri sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 47 ayat (4) UU JPH.[13]
- Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan pengawasan JPH, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 52 UU JPH.[14]
- Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan jenis produk yang bersertifikat halal secara bertahap, sebagaimana diamanatkan Pasal 67 ayat (3) UU JPH.[15]
Peraturan Menteri (Permen)
Paling kurang terdapat 11 peraturan menteri yang diperlukan agar implementasi UU JPH bisa optimal, antara lain:
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan tata cara pengenaan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat dan alat PPH, sebagaimana diamanatkan Pasal 22 ayat (2) UU JPH[16].
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan tata cara pengenaan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak menjalankan kewajibannya dan pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan haram tetapi tidak mencantumkan keterangan tidak halal. Permen ini diamantkan oleh Pasal 27 ayat (3) UU JPH.[17]
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan penyelia halal, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 28 ayat (4) UU JPH[18].
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 29 ayat (3) UU JPH.[19]
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan tata cara penetapan Lembaga Pemeriksa Halal, sebagaimana diamanatkan Pasal 30 ayat (3) UU JPH.[20]
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan label halal, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 40 UU JPH.[21]
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan tata cara pengenaan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang mencantumkan label halal tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 41 ayat (2) UU JPH.[22]
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan pembaruan sertifikat halal, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 42 UU JPH.[23]
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan pengelolaah keuangan BPJPH, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 45 ayat (2) UU JPH.[24]
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan tata cara pengenaan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang tidak melakukan registrasi, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 48 ayat (2) UU JPH.[25]
- Peraturan Menteri yang berkaitan dengan tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 55 UU JPH.[26]
Dengan demikian, agar bisa diimplementasikan dengan baik, maka legal substance dari UU JPH ini sesungguhnya masih perlu penyempurnaan dengan penerbitan sejumlah peraturan turunan sebagaimana dijelaskan di atas. Hanya saja, memang tidak mudah menerbitkan sejumlah aturan turunan yang dimaksudkan karena bersifat transektoral, melibatkan berbagai bidang pemerintahan dan kementerian.
Fakta terlambatnya penyusunan sejumlah aturan turunan terutama mengenai RPP tentang Pelaksanaan Jaminan Produk Halal disebabkan karena adanya masukan dari sejumlah kementerian terkait bahkan sebelum pembahasan ini dimulai oleh Kementerian Agama. Salah satu masukan itu adalah permintaan tertulis dari Kementerian Kesehatan agar industri farmasi dalam hal ini obat-obatan hingga vaksin bisa dikecualikan dari produk yang mesti disertifikasi halal.[27]
Hal yang seperti ini menjadi hambatan sekaligus tantangan tersendiri kepada pemerintah dalam upaya menjamin kepastian hukum kehalalan setiap produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Rumitnya perumusan aturan turunan UU JPH ini akan menjadi hambatan jika aturan-aturan turunan di atas tidak kunjung bisa diterbitkan sementara ketentuan untuk implementasi UU JPH ini sudah di depan mata, yakni di tahun 2019 mendatang.
Hal ini juga sekaligus bisa menjadi tantangan bagi pemerintah apakah mampu memenuhi aspirasi rakyat Indonesia yang mayoritas muslim dengan mempercepat proses perumusan aturan-aturan turunan yang dibutuhkan agar UU JPH bisa segera diberlakukan secara efektif di seluruh Indonesia.
C.2. Struktur Hukum
Menurut Friedman, sebuah produk hukum hanya bisa dimplementasikan dengan baik jika didukung oleh struktur hukum (legal structure) yang baik pula. Struktur hukum berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 meliputi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan badan pelaksanaan pidana (lapas). [28]
Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh Undang-undang sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terlepas dari pengaruh-pengaruh lain. Terdapat adagium yang menyatakan “Fiat justicia et pereat mundus”, meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakan. Hukum tidak dapat berjalan baik apabila tidak ada aparat hukum yang kredibel, kompeten dan independen.[29]
Salah satu masalah terbesar dalam penegakan hukum di Indonesia adalah lemahnya struktur hukum yang ada. Aparat-aparat penegak hukum yang ada terkadang tidak independen sehingga kredibilitasnya kerap dipertanyakan. Kasus suap terhadap aparat penegak hukum belakangan ini kerap terjadi, sehingga semakin menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap adanya supremasi hukum di negara ini. Padahal kita ketahui bersama bahwa sebagus-bagusnya suatu peraturan perundang-undangan apabila tidak didukung dengan aparat penegeak hukum yang baik maka keadilan hanyalah angan-angan. [30]
Persoalan struktur hukum yang sarat dengan masalah sesungguhnya bisa menjadi hambatan sekaligus tantangan dalam implementasi UU JPH. Buruknya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkkan penegakan hukum tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Sehingga betapapun bagusnya UU JPH ini disusun oleh pemerintah, tetapi jika tidak didukung oleh struktur hukum yang baik pula, maka tujuan dan cita-cita hukumnya untuk mewujudkan kepastian hukum produk halal di Indonesia hanya akan menjadi jargon belaka.
C.3. Budaya Hukum
Budaya atau kultur hukum (legal culture) merupakan sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial dan yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.[31]
Budaya hukum suatu bangsa ditentukan oleh nilai-nilai tertentu yang menjadi acuan dalam mempraktikkan hukumnya. Hal ini erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Dengan demikian, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum dalam sebuah negara.[32]
Dalam membicarakan tentang budaya hukum pasti tidak terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan susunan masyarakat yang menganut budaya hukum tersebut. Budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat penerimaan-penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum. Budaya hukum menunjukkan sikap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat.[33]
Saat ini tak dapat dipungkiri bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat Indonesia masih rendah. Akibatnya penegakan hukum belum berjalan optimal di setiap lini kehidupan. Partisipasi aktif masyarakat dalam proses penegakan hukum masih bersifat pasif, sehingga aparat penegak hukum (struktur hukum) memiliki beban kerja yang begitu besar dalam upaya mewujudkan tatanan hukum yang baik.
Dalam kaitannya dengan implementasi UU JPH, budaya hukum memiliki pengaruh yang tidak kecil. Sebagai kaum mayoritas, umat Islam di Indonesia tentunya memiliki kesadaran spiritual akan pentingnya produk halal dalam kehidupan mereka sehingga keberterimaannya terhadap produk hukum terkait dengan jaminan produk halal akan terbuka lebar. Hanya saja, jika dilihat dari perspektif dunia usaha, kemungkinan terjadinya resistensi bisa terjadi. Pasalnya, sertifikasi halal yang diwajibkan kepada setiap produk yang diperdagangkan oleh para pelaku usaha tentu memiliki konsekuensi finansial.
Selain itu, karena tuntutan ekonomi, kerapkali pelaku usaha meskipun dia juga seorang muslim, tidak lagi mengindahkan status kehalalan produk yang diperdagangkannya asalkan produk tersebut bisa laku di pasaran. Dalam konteks ini, UU JPH menemui tantangan sekaligus hambatan yang tidak kecil. Apalagi jika dilihat dari begitu lebarnya cakupan produk sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Poin (1) UU JPH dan luasnya wilayah hukum Indonesia saat ini.[34]
Demikianlah sejumlah hambatan dan tantangan implementasi UU JPH khususnya ketika dianalisa dari teori sistem hukum Friedman. Tentunya masih sangat banyak perspektif lain yang bisa menunjukkan berbagai faktor yang dapat menghambat implementasi UU JPH ini di masa mendatang.
Beberapa Pemikiran
Upaya implementasi UU JPH mulai menemui masalah saat proses perumusan aturan turunan yang menjadi panduan teknis pelaksanaannya, khususnya terhadap aturan-aturan yang melibatkan banyak pihak terkait. Setidaknya ada 3 poin perdebatan yang menjadi batu ganjalan tidak kunjung keluarnya rancangan PP yang dibutuhkan untuk implementasi UU JPH, antara lain:
Pertama, terkait peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dinilai sejumlah kalangan sangat powerfull dalam proses sertifikasi terhadap produk. Selama ini, MUI melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) memang seolah mendominasi proyek sertifikasi halal untuk produk-produk yang beredar di Indonesia. Melalui UU JPH peran MUI hanya sebagai pemberi fatwa tercatat. Sedangkan pihak yang mengeluarkan sertifikat adalah Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Selain itu, penentuan suatu produk halal juga tidak serta merta hanya oleh MUI saja. Namun, dalam sidang komisi fatwa MUI, selain ulama juga diikutsertakan pakar independen dan juga perwakilan dari kementerian terkait.[35]
Kedua, mengenai jenis-jenis produk halal.[36] Pada awalnya memang hanya Kementerian Kesehatan yang cukup keras meminta agar obat-obatan serta vaksin dikecualikan dari jenis produk yang wajib bersertifikat halal. Belakangan ini, nada serupa muncul dari industri kosmetika yang juga meminta ditinjau ulang agar produk kosmetika dikecualikan dari produk yang wajib disertifikasi. Dengan mempertimbangkan waktu yang semakin mepet, maka mau tak mau, implementasi sertifikasi produk halal harus dilakukan secara bertahap, tidak keseluruhan produk sebagaimana dimaksud UU JPH.
Usulan yang saat ini tengah dipertimbangkan adalah untuk tahap pertama, kewajiban sertifikasi dilakukan terhadap jenis produk berupa makanan dan minuman. Lalu tahap kedua, kewajiban sertifikasi untuk jenis produk kosmetik, kimiawi, rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Dan tahap terakhir, kewajiban sertifikasi dilakukan terhadap jenis produk barang terkait obat dan produk biologi.
Ketiga, tentang biaya sertifikasi halal yang dibebankan kepada pelaku usaha yang memohonkan sertifikat halal. Namun, dalam hal pelaku usaha adalah pelaku usaha mikro dan kecil, biaya sertifikasi dapat difasilitasi oleh pihak lain.[37] Masalah biaya sertifikasi khususnya untuk kalangan usaha mikro dan kecil ini menjadi perdebatan alot saat ini. Pasalnya, kemampuan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama juga terbatas, sedangkan pelaku usaha yang masuk kategori usaha mikro dan kecil tidaklah sedikit.
Untuk soal ini, pemerintah melalui Kementerian Perindustrian dan Perdagangan seharusnya lebih berperan khususnya dalam menginventarisir jumlah usaha mikro dan kecil di seluruh Indonesia sebagai landasan perhitungan subsidi biaya sertifikasi halal. Dengan adanya data yang valid tentang jumlah usaha mikro dan kecil yang wajib ditanggung pembiayaan sertifikasi halalnya sebagaimana diamanatkan Undang-undang tentu akan memudahkan pemerintah dalam mengalokasi pembiayaan.
Satu hal yang tidak boleh dilepaskan bahwa biaya sertifikasi halal seyogyanya tidak terlalu memberatkan bagi pelaku usaha. Perhitungan biaya sertifikasi halal harus memperhitungkan semua faktor terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan para pelaku usaha. Karena itu, perlu adanya kesamaan persepsi antara pemerintah sebagai regulator JPH dengan para pelaku usaha yang akan menjadi sasaran pemberlakukan UU JPH, serta dengan masyarakat secara umum.
Masih rendahnya pemahaman masyarakat akan produk halal juga dikhawatirkan akan menjadikan Indonesia sebagai pangsa besar bagi negara-negara lain yang telah lebih dulu stabil melakukan sertifikasi halal pada setiap produknya. Selain itu, belum seragamnya perspektif pada kalangan pelaku usaha terutama yang bergerak di industri farmasi dan kosmetika menjadi kekhawatiran tersendiri, terutama ketika kita melihat mulai giatnya sejumlah negara lain melakukan riset tentang bahan-bahan yang halal untuk bahan baku pembuatan obat dan kosmetik. Pada saat yang sama para pelaku usaha di Indonesia malah minta dikecualikan dari produk yang wajib bersertifikat halal.
Karena itulah, maka perlu adanya gerakan sosialisasi yang terus-menerus dilakukan pada semua lapisan masyarakat, agar masyarakat dapat memahami urgensi jaminan produk halal sebagaimana diatur dalam UU JPH. Dukungan penuh dari masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim merupakan sebuah kekuatan luar biasa agar implementasi UU JPH ini bisa segera dapat diwujudkan secara efektif pada tahun 2019 nanti, sekaligus mewujudkan tujuan mulia dan cita-cita hukumnya untuk menjamin bahwa setiap produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di Indonesia telah memiliki sertifikat halal dari BPJPH. [38]
Catatan Kaki
[1] Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Pasal 65
[2] Ibid, Pasal 64.
[3] Ibid. Pasal 67
[4] https://nasional.kompas.com/read/2017/10/30/21135511/molor-belum-satu-pun-peraturan-pelaksana-jaminan-produk-halal-rampung, diakses pada 25 Maret 2018
[5] Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Pasal 1
[6] Dahlan. Problematika Keadilan dalam Penerapan Pidana terhadap Penyalah Guna Narkotika, (Yogyakarta, Deepublish, 2017). Hal 184
[7] Berbeda dengan pengakuan Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Prof. Ir. Sukoso sebagaimana dilansir Kompas (https://nasional.kompas.com/read/2017/10/30/21135511/molor-belum-satu-pun-peraturan-pelaksana-jaminan-produk-halal-rampung) yang menyatakan bahwa ada 16 aturan turunan yang dibutuhkan, redaksi KlikLegal.com justru mengatakan bahwa dibutuhkan 20 topik peraturan turunan untuk efektifitas implementasi UU JPH ini (https://kliklegal.com/ini-peraturan-pelaksana-uu-jaminan-produk-halal-yang-harus-dibuat-oleh-pemerintah/). Satu peraturan turunan sudah terbit yakni Perpres 83 Tahun 2015 yang didalamnya telah mengatur pembentukan Badan Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah naungan Kementerian Agama.
[8] Pasal 11 UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8 Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.” Kerjasama yang dimaksudkan dalam ketentuan ini adalah yang dilakukan oleh BPJPH dengan (1) kementerian dan/atau lembaga terkait; (2) Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan (3) Majelis Ulama Indonesia (MUI).
[9] Pasal 16 UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH diatur dalam Peraturan Pemerintah.” LPH atau Lembaga Pemeriksa Halal adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Poin (8).
[10] Pasal 21 ayat (3) UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.” PPH atau Proses Produk Halal rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian Produk sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3).
[11]Pasal 44 ayat (3) UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
[12] Pasal 46 ayat (3) UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
[13] Pasal 47 ayat (4) UU JPH: “Ketentuan mengenai tata cara registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.”
[14] Pasal 52 UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.” Pengawasan di sini adalah yang dilakukan oleh BPJPH dan kementerian dan atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan Jaminan Produk Halal (JPH), baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama.
[15] Pasal 67 ayat (3) UU JPH: “Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah”.
[16]Pasal 22 ayat (2) UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.” Sanksi administratif di sini adalah bagi Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2).
[17]Pasal 27 ayat (3) UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.” Sanksi administratif di sini adalah bagi Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Ayat (2).
[18]Pasal 28 ayat (4) UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Menteri.” Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH.
[19]Pasal 29 ayat (3) UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri”.
[20]Pasal 30 ayat (3) UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.” LPH atau Lembaga Penjamin Halal adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan atau pengujian terhadap kehalalan Produk sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Poin (8).
[21]Pasal 40 UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Menteri.” Label Halal sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Poin (11) adalah tanda kehalalan suatu Produk.
[22]Pasal 41 ayat (2) UU JPH: “Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.” Sanksi administratif dalam hal ini adalah bagi Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39.
[23]Pasal 42 UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.” Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Poin (10).
[24] Pasal 45 ayat (2) UU JPH: “Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH diatur dalam Peraturan Menteri.”
[25]Pasal 48 ayat (2) UU JPH: “Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.” Dalam hal ini, sanksi administratif yang dimaksud adalah bagi Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3): “Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk diedarkan di Indonesia.”
[26]Pasal 55 UU JPH: “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri.”
[27]http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57506322612e9/3-poin-perdebatan-dalam-penyusunan-rpp-pelaksanaan-jaminan-produk-halal, diakses pada 25 Maret 2018
[28] Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
[29] Saptomo, Ade. Hukum dan Kearifan Lokal: Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, (Jakarta, Grasindo, 2010.) Hal.54
[30] Effendy, Marwan. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005). Hal. 112
[31] Ali, Achmad. Menguak Realitas Hukum (Jakarta, Prenada Media Group, 2008). Hal.10
[32] Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia (Jakarta, Kompas, 2009). Hal.96-97
[33] Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia (Jakarta, Alumni, 1986). Hal 52
[34] Pasal 1 Poin (1) UU JPH: “Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat.”
[35]http://halalwatch.or.id/245/3-poin-perdebatan-dalam-penyusunan-rpp-pelaksanaan-jaminan-produk-halal/, diakses pada 25 Maret 2018
[36] Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 Poin (1) bahwa yang dimaksud produk adalah adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat
[37] Hal ini dijelaskan dalam Pasal 44 UU JPH Ayat (1): “Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal”, dan Ayat (2): “Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi pihak lain.”
[38] Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Pasal 4.