AsriTadda.com
 

Nasib Tenaga Honorer di Tengah Penerapan UU ASN 2023

Apakah keadilan masih relevan ketika mereka yang paling berjasa justru yang paling dulu disingkirkan? Di Makassar, lebih dari 3.000 tenaga honorer—mayoritas petugas kebersihan—diambang kehilangan pekerjaan akibat penerapan UU ASN. Siapa yang akan berdiri di sisi mereka?

Ilustrasi Tenaga Honorer

PEMERINTAH sejatinya hadir untuk melindungi, mengayomi, dan memperbaiki taraf hidup rakyatnya. Dalam setiap kebijakan, hukum, atau regulasi yang dibuat, asas kemanfaatan sosial harus selalu menjadi rujukan utama.

Apalagi ketika kebijakan tersebut menyentuh langsung kehidupan ribuan bahkan jutaan masyarakat kecil yang selama ini menggantungkan penghidupan dari sektor informal dan tenaga honorer.

Salah satu problem serius yang saat ini sedang dihadapi adalah penerapan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Regulasi ini, di satu sisi, memang bertujuan menciptakan tata kelola birokrasi yang lebih profesional, berkeadilan, dan tertata. Namun di sisi lain, kebijakan ini juga membawa dampak sosial yang tidak ringan.

Status honorer yang selama ini menjadi penopang penghidupan ribuan orang dihapuskan, dan seluruh tenaga non-ASN diminta mengikuti seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau dinyatakan nonaktif.

Makassar sebagai Contoh Kasus

Di Kota Makassar, persoalan ini hadir dalam skala besar. Dari total lebih dari 11.000 tenaga honorer, hanya sekitar 8.000 orang yang berhasil mengikuti seleksi PPPK tahap pertama dan kedua.

Itu berarti ada sekitar 3.000 lebih tenaga honorer yang terancam kehilangan pekerjaan. Ironisnya, mayoritas dari mereka merupakan petugas kebersihan, lebih dari 2.600 orang, yang selama ini justru berkontribusi besar dalam menjaga wajah kota tetap bersih, sehat, dan nyaman.

Sebagian besar tenaga honorer yang tidak bisa mengikuti seleksi PPPK itu terkendala syarat administrasi, khususnya latar belakang pendidikan.

Banyak dari mereka hanya lulusan SD, bahkan ada yang tidak memiliki pendidikan formal sama sekali. Akibatnya, mereka otomatis tersingkir dari skema formal pengangkatan pegawai pemerintah.

Pemerintah Kota Makassar sebenarnya sempat membuat jalan keluar dengan membuat skema Laskar Pelangi — sebuah bentuk diskresi dari Wali Kota Danny Pomanto yang memberi ruang kerja bagi tenaga honorer yang tidak terakomodasi dalam jalur formal ASN maupun PPPK.

Sayangnya, penerapan UU ASN 2023 membuat keberadaan skema seperti ini tidak lagi memiliki legal standing, dan terpaksa harus dihentikan.

Sebagai solusi, pemerintah daerah mencoba membuka peluang melalui Unit Layanan Pengadaan (ULP), tetapi skema ini jelas tak akan mampu menampung seluruh tenaga honorer yang terdiskualifikasi.

Dalam kondisi seperti ini, semestinya pemerintah daerah hadir sebagai pelindung masyarakatnya. Seorang kepala daerah tidak boleh hanya menjadi eksekutor peraturan pusat, tapi juga harus berani menyuarakan keresahan rakyatnya.

Diskresi kepemimpinan adalah ruang konstitusional yang sah dan bisa digunakan untuk memperjuangkan nasib rakyat, selama tidak secara langsung bertentangan dengan hukum.

Diskresi bisa diambil dalam bentuk kebijakan transisi, program penguatan kapasitas SDM bagi honorer terdampak, atau bahkan dengan mengusulkan kebijakan afirmasi kepada pemerintah pusat.

Jangan sampai pemerintah daerah hanya jadi “penyampai keputusan” tanpa melakukan upaya mitigasi sosial atas dampak yang muncul.

Tenaga Honorer

Apa yang Bisa Dilakukan?

Di tengah ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN yang menghapus status honorer, pemerintah daerah sebenarnya masih memiliki sejumlah opsi legal dan etis untuk melindungi nasib para tenaga honorer terdampak tanpa harus berbenturan langsung dengan regulasi yang ada.

Kepala daerah yang visioner harus mampu memanfaatkan ruang diskresi dan kreativitas administrasi untuk menyelamatkan ribuan rakyat kecil yang selama ini menggantungkan penghidupan dari pekerjaan tersebut.

Berikut beberapa opsi konkret yang bisa ditempuh, antara lain:

(1) Optimalisasi Skema Jasa Layanan Perorangan (JLP) atau Penyediaan Tenaga Melalui Pihak Ketiga

Mekanisme ini memungkinkan pemerintah daerah tetap mengalokasikan anggaran untuk jasa tenaga kebersihan, keamanan, dan administrasi melalui kontrak kerja perorangan berbasis pengadaan barang dan jasa. Status mereka bukan ASN maupun PPPK, sehingga tidak bertentangan dengan UU ASN.

Pemerintah Kota Makassar sebenarnya segera menerapkan skema Unit Layanan Pengadaan (ULP) ini, namun ke depannya saya kira perlu dioptimalkan dan diperluas lagi agar dapat menampung lebih banyak tenaga terdampak.

(2) Program Padat Karya Berbasis Kegiatan Lingkungan dan Infrastruktur

Melalui APBD atau Dana Kelurahan, pemerintah daerah bisa membuat program kerja harian berbasis kegiatan fisik ringan seperti pembersihan drainase, perawatan taman, atau edukasi lingkungan.

Selain dapat menyerap tenaga honorer terdampak, program ini juga dapat meningkatkan kualitas lingkungan kota.

(3) Pelatihan dan Sertifikasi Tenaga Kerja

Bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dan pihak swasta, pemerintah daerah bisa menyelenggarakan program pelatihan keterampilan bagi honorer yang tidak memenuhi syarat PPPK.

Dengan keterampilan baru, mereka bisa mengakses peluang kerja di sektor swasta atau mandiri.

(4) Mendorong Afirmasi Seleksi PPPK Jalur Khusus

Pemerintah daerah melalui forum asosiasi seperti APEKSI atau langsung ke KemenPAN-RB dapat menyuarakan agar dibuka formasi PPPK non-teknis tanpa syarat pendidikan tinggi bagi tenaga kebersihan, tenaga lapangan, dan tenaga administrasi yang telah lama mengabdi. Beberapa daerah seperti Depok dan Karawang pernah mengusulkan opsi ini.

(5) Membentuk BUMD Layanan Publik

Opsi jangka menengah yang bisa ditempuh adalah membentuk BUMD khusus layanan publik yang menyerap tenaga kerja dari eks-honorer.

Mereka dapat dipekerjakan secara formal dengan sistem pengupahan sesuai UMP dan jaminan sosial tenaga kerja, tanpa harus melalui jalur ASN.

(6) Optimalisasi CSR Perusahaan Lokal

Pemerintah daerah juga bisa memanfaatkan Forum CSR Daerah untuk mewajibkan perusahaan di wilayahnya menyerap tenaga kerja lokal, khususnya dari kelompok honorer terdampak.

Skema ini bisa dalam bentuk perekrutan langsung, pelatihan keterampilan, atau pemberdayaan usaha kecil.

(7) Menyusun Grand Design Penataan Tenaga Kerja Daerah

Untuk jangka panjang, pemerintah daerah perlu segera menyusun peta jalan atau grand design penataan tenaga kerja non-ASN pasca-2024.

Tujuannya agar tidak lagi bersikap reaktif setiap terjadi perubahan regulasi, sekaligus memastikan keberlangsungan tenaga kerja di sektor layanan publik yang selama ini diisi oleh honorer.

Honorer

Mendahulukan Asas Kemanfaatan

Hukum memang hadir untuk menciptakan ketertiban, tapi lebih dari itu hukum juga hadir untuk menghadirkan keadilan dan kemanfaatan sosial.

Asas kemanfaatan harus ditempatkan lebih tinggi dalam kebijakan publik, apalagi saat menyangkut hajat hidup orang banyak. Regulasi tanpa mempertimbangkan dampak sosial justru berpotensi menjadi ketidakadilan yang dilegalkan.

Dalam konteks honorer di Makassar — dan di banyak daerah lain di Indonesia, termasuk di Provinsi Sulawesi Selatan — pemerintah seharusnya lebih mengedepankan pendekatan kemanusiaan.

Tidak adil rasanya, orang-orang yang selama ini berjasa menjaga kebersihan, keamanan, dan pelayanan publik di tingkat bawah, tiba-tiba harus kehilangan pekerjaan tanpa adanya perlindungan sosial yang memadai. Padahal honor mereka sesungguhnya (bisa) dibayar dari pendapatan daerah, tidak bergantung dari pemerintah pusat.

Situasi ini sejatinya menjadi momentum bagi kepala daerah untuk membuktikan keberpihakan dan keberanian mereka berdiri di depan rakyatnya.

Tidak cukup hanya menjadi pelaksana keputusan pusat, pemimpin di daerah juga harus mampu merumuskan solusi alternatif yang realistis, humanis, dan legal. Diskresi kepemimpinan itulah yang seharusnya dioptimalkan demi kemaslahatan bersama.

Jika langkah-langkah ini dilakukan secara serius, maka pemerintah daerah tetap bisa menyelamatkan ribuan honorer tanpa harus melanggar ketentuan UU ASN yang berlaku.

Karena pada akhirnya, pemimpin dinilai bukan dari seberapa taat ia menjalankan perintah, tapi seberapa berani dan tulus ia memperjuangkan nasib rakyatnya. (*)

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *