AsriTadda.com
 

SAPU dan Ikhtiar Gerakan Pembaharuan Unhas

DI TENGAH dinamika yang kini melingkupi Universitas Hasanuddin (Unhas), muncul satu inisiatif moral dari kalangan alumninya, yaitu terbentuknya SAPU, akronim dari Solidaritas Alumni Peduli Unhas.

Solidaritas Alumni Peduli Unhas SAPU

Gerakan ini bukan sekadar reaksi spontan terhadap situasi kampus, melainkan sebuah refleksi panjang atas perubahan nilai dan arah kelembagaan yang dirasakan banyak pihak.

SAPU hadir sebagai simbol kepedulian kolektif untuk mendorong pembaharuan dan meneguhkan kembali marwah universitas.

Metafora Perubahan

Sapu adalah alat yang sederhana, tetapi sarat makna. SAPU adalah metafora perubahan. Ia tidak berteriak, tetapi hasil kerjanya nyata — membersihkan, menata, dan menyiapkan ruang bagi kehidupan yang lebih baik.

Dalam konteks Unhas, SAPU melambangkan gerakan untuk membersihkan dan menata kembali sistem nilai yang mungkin mulai tertutup oleh debu pragmatisme dan kepentingan politis sesaat.

Unhas dibangun di atas tradisi keilmuan dan integritas akademik. Ketika semangat itu mulai meredup, yang dibutuhkan bukan amarah, melainkan tindakan kolektif untuk memperbaikinya. Dan SAPU adalah simbol dari tindakan itu — kerja diam-diam namun berdampak, sederhana namun berarti.

Universitas Hasanuddin

Kekuatan Solidaritas

Satu lidi mudah dipatahkan, tetapi seratus lidi yang diikat menjadi sapu, sulit dikalahkan.
Filosofi sederhana ini menggambarkan inti kekuatan SAPU, yaitu kebersamaan alumni lintas angkatan, lintas fakultas, dan lintas profesi, yang disatukan oleh satu semangat — menjaga kampus agar tetap pada jalur akademik, bukan politik.

Solidaritas alumni menjadi modal sosial yang sangat besar. Mereka tidak lagi sekadar penonton, tetapi pemangku tanggung jawab moral atas arah perkembangan universitas yang telah membesarkan mereka. Dalam SAPU, alumni menemukan kembali panggilan pengabdian moral dan intelektualnya.

SAPU bukanlah gerakan seremonial. Ia merupakan manifestasi kesadaran kritis bahwa Unhas harus kembali menjadi universitas riset yang berwibawa, adaptif terhadap perubahan global, dan berorientasi pada prestasi ilmiah, bukan sekadar posisi administratif.

Unhas juga harus bisa melahirkan tokoh-tokoh bangsa yang baru, yang paling tidak menjadi representatif pembaharuan dari timur Indonesia.

Pembaharuan yang dimaksud bukan hanya pada aspek kepemimpinan, tetapi juga pembaharuan tata kelola, etos akademik, dan budaya meritokrasi.

Unhas perlu memastikan bahwa setiap langkah pembangunan kampus berpijak pada kualitas, bukan kedekatan; pada karya, bukan pada loyalitas sempit.

Universitas Hasanuddin

Etis dan Kultural

SAPU tidak berpretensi menjadi kekuatan politik baru, tetapi menegaskan dirinya sebagai gerakan etis dan kultural alumni.

Etis, karena berangkat dari tanggung jawab menjaga nilai integritas. Kultural, karena berakar pada semangat siri’ na pacce — kehormatan dan solidaritas yang menjadi dasar budaya Bugis-Makassar, tempat Unhas tumbuh dan berkembang.

Gerakan ini ingin membangun kembali suasana kampus yang sehat, terbuka, dan dialogis. Di tengah tantangan globalisasi pendidikan tinggi, SAPU hadir untuk memastikan Unhas tetap kokoh berdiri di atas nilai-nilai akademik universal, bukan sekadar pada kekuasaan administratif.

Menatap Ke Depan

Unhas sesungguhnya memiliki modal besar, mulai dari sumber daya manusia unggul, reputasi akademik, jejaring alumni yang kuat, dan kepercayaan masyarakat yang masih cukup tinggi. Namun, modal itu perlu dikelola dengan benar.

SAPU hadir untuk menjaga agar pengelolaan universitas tidak kehilangan arah dan nurani. Ia bukan kekuatan tandingan, melainkan kekuatan penyeimbang berlandaskan moral dan intelektualisme — yang mengingatkan bahwa universitas harus menjadi ruang rasional, bukan arena transaksional.

Dengan semangat “membersihkan nalar, meneguhkan gagasan’, SAPU menjadi ikon baru pembaharuan Unhas.

Universitas Hasanuddin

Gerakan ini lahir dari kesadaran bahwa cinta terhadap almamater tidak cukup diungkapkan dengan kebanggaan, tetapi harus diwujudkan dengan tanggung jawab menjaga, mengoreksi, dan memperbaiki.

SAPU bukanlah sekadar singkatan, tetapi juga adalah sikap. Sikap alumni yang peduli, berani bersuara, dan siap berikhtiar dengan semua tantangan dan keterbatasannya, untuk mengembalikan Unhas ke peran yang semestinya: sebagai mercusuar ilmu pengetahuan di Indonesia Timur.

Pada akhirnya, SAPU adalah manifestasi dari kita semua. Karena sesungguhnya, setiap kita adalah tukang SAPU; yang maujud dalam banyak bentuk dan peran. Jangan pernah nafikkan itu! (*)

Oleh: Asri Tadda
(Alumni Universitas Hasanuddin, Inisiator SAPU)

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *