LANGIT Makassar menjelang senja. Dari jendela sebuah ruangan di lantai delapan gedung megah rektorat, cahaya matahari terakhir menembus tirai kaca, memantul lembut di permukaan meja yang mulai dilingkupi bayang.

Di ruangan itu, percakapan mengalir pelan antara dua orang — satu, seorang alumni yang resah dengan arah universitasnya (saya). Satunya lagi, seorang profesor yang namanya tengah ramai diperbincangkan menjelang pemilihan rektor Universitas Hasanuddin (JJ).
________________________________________
Saya: 
Prof, banyak yang memprediksi Anda akan kembali terpilih memimpin Unhas. Apakah Anda juga merasakan arah angin yang sama?
Prof JJ (tersenyum pelan):
Angin bisa berubah setiap saat, Bung. Yang penting bukan ke mana angin bertiup, tapi bagaimana kita menyiapkan layar. Saya tidak ingin terlalu sibuk membaca arah kemenangan. Saya lebih memilih memastikan bahwa arah niat ini tetap benar.
Saya:
Tapi publik menilai capaian Anda dalam empat tahun terakhir cukup baik, termasuk di bidang digitalisasi dan reputasi riset. Apakah Anda melihat periode berikutnya sebagai kelanjutan dari semua itu?
Prof JJ:
Kelanjutan, ya. Tapi saya ingin kelanjutan yang tumbuh, bukan sekadar berulang. 
Transformasi itu seperti menanam mangrove. Tahun pertama, akarnya masih rapuh, hampir tak terlihat. Tahun kelima, barulah pohonnya mulai berdiri. Tapi kalau kita berhenti di situ, laut akan datang lagi, dan semua bisa hanyut.
Jadi, kalau Tuhan memberi saya kesempatan kedua, saya ingin memastikan akar itu cukup kuat untuk menghadapi ombak berikutnya.
Saya:
Banyak yang bertanya, Prof, apa arti sebenarnya dari kepemimpinan akademik di era seperti sekarang — ketika universitas ditarik ke arah pasar, politik, dan prestasi global sekaligus?
Prof JJ:
Pertanyaan yang indah, Bung. Kepemimpinan akademik itu ibarat mengemudi kapal ilmu. Lautnya luas dan kadang liar, tapi kita tidak boleh kehilangan kompas moral. Indikator, ranking, dana riset — semua itu penting, tapi bukan jiwa universitas.
Jiwa itu tumbuh dari nilai, dari kejujuran berpikir, dan dari keberanian untuk tidak sekadar mengejar angka, tapi mengejar makna. Kalau universitas kehilangan makna, maka semua gelar dan ranking itu hanya kemasan kosong.
Saya:
Jadi Prof, Anda melihat periode kedua — jika benar terpilih — lebih sebagai perjalanan batin daripada politik kampus?
Prof JJ:
Benar. Saya ingin kepemimpinan bukan menjadi alat untuk berkuasa, tapi ruang untuk berbakti. Saya sering bilang pada diri sendiri, “Jabatan bisa usai, tapi pengabdian tidak boleh berhenti.” 
Mungkin periode pertama adalah tentang membangun sistem. Kalau ada periode kedua, saya ingin membangun kesadaran — bahwa Unhas ini bukan milik rektor, tapi milik seluruh jiwa yang mencintai ilmu.
Saya (ragu-ragu sejenak):
Prof, boleh saya jujur? Saya termasuk di antara alumni yang cukup vokal menyuarakan agar Anda tidak lagi maju di periode kedua. Saya menulis itu di koran. Alasannya sederhana — kami ingin regenerasi, ingin ada darah baru di ruang akademik, karena kami percaya universitas butuh penyegaran untuk terus hidup.
Prof JJ (tersenyum, menatap dalam):
Saya tahu, Bung. Dan saya tidak pernah menganggap pandangan itu salah. Regenerasi itu seperti ombak — ia harus datang agar laut tetap hidup. Tapi regenerasi sejati bukan hanya tentang pergantian nama, melainkan pembaruan cara berpikir.
Kalau saya terpilih lagi, itu bukan karena ingin menunda regenerasi, melainkan memastikan ekosistemnya siap. Saya ingin masa depan Unhas diisi orang-orang muda yang lebih berani dari saya, lebih bebas berpikir, dan lebih jujur pada ilmu.
Saya:
Jadi, Anda tidak merasa regenerasi terancam dengan kemungkinan terpilihnya Anda kembali?
Prof JJ:
Tidak, justru sebaliknya. Saya ingin menjadikan kesinambungan ini sebagai jembatan menuju regenerasi yang lebih matang. Pemimpin boleh sama, tapi pikirannya harus selalu baru. 
Dan saya berharap, jika saya diberi kesempatan lagi, orang-orang di sekitar saya akan lebih berani berbeda — bahkan menentang saya — karena universitas hanya hidup jika keberanian berpikir dijaga tetap menyala.
Saya:
Terakhir, Prof — kalau pun nanti hasilnya tak sesuai harapan, apakah akan ada kekecewaan?
Prof JJ:
Tidak, Bung. Karena kepemimpinan sejati bukan ditentukan oleh hasil pemilihan, tapi oleh seberapa besar kita meninggalkan makna.
Kalau pun saya tidak lagi di posisi ini, Unhas akan tetap berjalan. Dan kalau ia tumbuh lebih baik tanpa saya, bukankah itu justru tanda keberhasilan kepemimpinan yang sesungguhnya?
***
Senja kian pekat. Di luar, lampu-lampu kampus mulai menyala, satu per satu, seperti simbol pengetahuan yang tak pernah padam. Percakapan berakhir dan saya menutup buku catatan, tetapi dialog itu terus bergaung di kepala.
Barangkali benar—kemenangan sejati seorang pemimpin bukanlah ketika ia kembali terpilih, melainkan ketika ia berhasil menyiapkan dan mengikhlaskan banyak orang untuk melampauinya. (*)
*Dibuat dengan bantuan AI.

