AsriTadda.com
 

Masih Perlukah Pilkada Langsung?

Tidak lama lagi kita akan melaksanakan pilkada langsung secara serentak. Tahun ini, pilkada serentak akan digelar di 171 daerah, terdiri atas 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota di Indonesia yang melibatkan sekitar sekitar 160 juta pemilih. Angka tersebut adalah 85 persen dari prediksi jumlah pemilih dalam pemilu 2019 mendatang.

Euphoria pilkada langsung sudah sangat kental menghiasi rutinitas sebagian besar rakyat. Hari-hari belakangan ini, bukan hanya politisi, tokoh masyarakat dan orang-orang terpelajar saja yang bisa bicara pilkada, tetapi juga petani, nelayan, penjahit, tukang becak dan anak-anak sekalipun. Oleh sebagian orang, ini disebut sebagai kemajuan demokrasi.

Pilkada Langsung

Di tengah ‘kemajuan’ demokrasi seperti ini, kita mesti kembali membuka mata atas realitas di masyarakat. Tak dapat dipungkiri, pilkada langsung telah memicu berbagai konflik sosial- horizontal antar rakyat yang berbeda pilihan. Tak terhitung kerugian materi dan non materi akibat konflik sosial ini.

Pada kontestasi pilkada langsung, masing-masing kelompok masyarakat tentu saling menjagokan pilihannya dan rela berjuang mengorbankan segalanya hanya untuk memenangkan mereka. Sedikit saja pemicu, konflik bisa meledak, mulai dari skala kecil hingga skala besar. Tidak mengherankan, akibat pilkada, bahkan ada orang bersaudara yang akhirnya saling benci dan memutus tali silaturrahim.

BACA JUGA:  Pemuda dan Tanggung Jawab Bernegara

Belum lagi jika kita bicara tentang praktik money politics yang mulai membudaya. Satu suara rakyat bahkan sudah ada harganya. Rakyat pun perlahan menyimpulkan bahwa pilkada adalah musim panen uang kaget. Kapan lagi mereka bisa dapat duit gratis dari (calon) pemimpinnya kecuali saat kampanye atau melalui serangan fajar?

Di tengah kondisi ekonomi yang kurang membahagiakan saat ini, gelaran pilkada langsung adalah sebuah anugerah, terutama bagi mereka yang terlibat di dalamnya. Tak kurang dari 20 triliun anggaran pilkada serentak 2018 dialokasikan KPU. Ini belum menghitung biaya yang dikeluarkan oleh para calon kepala daerah, mulai dari proses seleksi dan pendaftaran bakal calon ke partai politik, hingga anggaran kampanye sampai hari pencobolosan. Belum lagi jika hasil pilkada harus dipersengketakan ke pengadilan.

Tak dipungkiri, biaya demokrasi di negeri ini memang sangat mahal. Karena itulah, sungguh sulit menemukan calon pemimpin terbaik lahir dari proses di dalamnya. Seperti kita ketahui bersama, mayoritas anak bangsa calon pemimpin terbaik di negeri ini hidupnya sederhana dan tidak memiliki banyak uang. Ketika mereka dipaksa masuk ke dalam sistem politik seperti ini, mau tak mau harus ada yang membiayai. Sehingga jika akhirnya terpilih, rasa-rasanya mereka akan sulit bekerja optimal karena tidak independen.

BACA JUGA:  Hari Valentine Islami

Jika hal ini terjadi berulang-ulang setiap 5 tahun sekali, tak ayal akan menjadi budaya baru dalam sistem demokrasi kita. Rakyat hanya selalu menjadi korban, diambil suaranya lalu ditinggalkan begitu saja. Praktek money politics menjadi lazim dalam urusan apapun. Pada akhirnya pilkada bukan lagi untuk rakyat kecil sesuai amanah demokrasi, tetapi hanya untuk elit berduit yang punya kepentingan ekonomis.

Inilah antara lain realitas demokrasi kita. Di tengah riuhnya persiapan pilkada, patut kiranya merenungkan kembali apa yang sebenarnya kita inginkan dalam kehidupan berbangsa. Jika demokrasi merupakan proses yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan negara kita, maka pertanyaannya adalah demokrasi yang seperti bagaimana yang dimaksudkan. Apakah demokrasi berbiaya mahal yang rentan memicu konflik sosial antar warga masyarakat seperti saat ini?

BACA JUGA:  KKLR dan Masa Depan Luwu Raya

Sesungguhnya yang dibutuhkan masyarakat pada lapis bawah (grass root) adalah kesejahteraan dan kemakmuran. Rakyat kita menginginkan harga bahan pokok yang murah, akses pendidikan dan pelayanan kesehatan terjamin, serta lingkungan yang bersih dan aman. Apakah demokrasi ‘mahal’ kita sudah bisa mewujudkan semua ini?

Padahal, yang paling mampu mewujudkan semua ini adalah kepala daerah, khususnya para Bupati dan Walikota karena mereka adalah ujung tombak otonomi daerah. Sayangnya, dengan praktik pilkada langsung seperti saat ini, sangat jarang mendapati kepala daerah yang benar-benar berada pada posisi ideal untuk bekerja maksimal. Sebagian besarnya terbelenggu oleh janji dan deal politik yang sebenarnya bukan untuk kepentingan rakyat kebanyakan.

Karena itulah, kiranya perlu dipertimbangkan lagi untuk mengembalikan proses pilkada Bupati/Walikota ke DPRD Kabupaten/Kota, jangan lagi melalui pilkada langsung. Selain dapat menghemat anggaran politik dan meredam potensi konflik sosial di masyarakat yang sangat merugikan, hal ini sekaligus merupakan perwujudan sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan.

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *