Sedikit Orang (yang) Luar Biasa di Fakultas Kedokteran

Tulisan ini saya repost kembali dari sebuah facebook notes oleh dr. Joko Hendarto, senior saya di Fakultas Kedokteran Unhas. Judul aslinya adalah A Few Extraordinary People In Kedokteran…., tapi saya menggubahnya seperti di atas. Semoga selalu mengingatkan bahwa kita semua punya pilihan!

Di setiap masa selalu ada orang-orang aneh yang muncul. Mereka adalah anomali yang membuat hidup serasa selalu punya banyak pilihan. Orang-orang merdeka dan saya kagum dengan mereka.

Di kedokteran, mungkin semua ibu ingin anaknya masuk fakultas ini dan menjadi dokter, walaupun mungkin sang anak tidak berkehendak untuk itu.

Mereka punya mimpi yang lain. Tapi itulah orang tua terkadang kasih sayangnya membuatnya merasa bahwa hanya pilihan mereka yang terbaik buat sang putra –putri tercinta.

Ada yang bisa beradaptasi, ada yang gagal. Dari yang gagal itu banyak yang terpuruk, namun ada juga yang memilih untuk hengkang.

Mereka tak ingin dikalahkan oleh nasib. Memilih penghidupan yang lain dan saya kira itu lebih gagah dan jantan ketimbang terus bertahan menekuni sesuatu yang sama sekali bukan pilihan hidup.

Saya lalu teringat film 3 idots, sebuah film yang menurut mengajarkan bahwa dalam hidup orang harus berani mengambil keputusan, memilih.

Jika tidak ia akan berhenti menjadi artefak sejarah. Dilindas oleh waktu dan hanya bisa dikenang sebagai sesuatu yang muram dan gagal.

Saya mengenal beberapa orang yang akhirnya memilih untuk berhenti. Saya ingin memulai dengan teman seangkatan saya, Muhammad Ridho Basam, seorang Makassar Arab yang pada zaman saya mahasiswa sangatlah luar biasa.

BACA JUGA:  Doa Untuk Sahabat - Doa Paling Syahdu Terdengar

Ide-idenya selalu melampaui pemahaman kami orang-orang yang baru datang dari kampung saat itu. Ia lebih suka mendiskusikan ideologi, konsep negara dan revivalisme islam ketimbang bicara soal-soal anatomi atau fisiologi.

Semangatnya tentang demokrasi dan inklusifitas islam kadang-kadang menabrak-nabrak hal-hal yang dianggap sakral pada zaman itu. Bahkan soal-soal paling sensitif adalam agama.

Saya ingat sekali pernah suatu ketika ia dan sobat karibnya Aslan, diusir dengan parang dari MPM gara-gara datang berdiskusi dan mempertanyakan, “Tuhan”.

Kedokteran mungkin tempat yang tidak cocok untuknya. Akhirnya ia keluar dan berdagang. Menjalani tradisi keluarga turun-temurun.

Terakhir saya ketemu dia memberi alasan, “Harus ada orang yang memberi makan kepada orang lain, Jok. Dokter kan tidak bisa mempekerjakan orang. Kalau pengusaha bisa”. Hehehehe. Akhirnya dia memilih jalan yang berbeda.

Di generasi di bawah saya, ada sosok luar biasa, Asri Tadda. Baru saja saya membaca profilnya yang menakjubkan di Kompas. Mantan ketua BEM. Sempat sebentar berkoas ria.

Namun akhirnya ia menemukan dunia yang membuatnya bahagia. Betah dan hidup dari sana. Dunia blog. Membuat sekolah blog. Mengajarkan kepada orang untuk menulis di dunia maya dan mendapatkan penghasilan dari sana.

Aneh juga seorang mahasiswa kedokteran justeru menekuni dunia semacam itu, padahal mungkin para mahasiswa yang belajar tentang IT dan tetek bengeknya tak pernah berpikir bahwa blog pun bisa menjadi sumber penghidupan.

BACA JUGA:  Perbawa Prabowo; Catatan Kesaksian Seorang Wartawan

Bisa menghidupi banyak orang. Saya kagum. Saya tak tahu apakah ia masih punya keinginan untuk kembali lagi memakai jas putih, belajar lagi kedokteran. Pertanyaannya masih perlukah ia jadi dokter?

Dan satu orang lagi yang darinya saya banyak belajar, kanda Sudirman HN. Saya memang tidak berinteraksi secara intens dengan beliau.

Terakhir-terakhir ini saja saya baru bisa mengenalnya lebih banyak. Selebihnya, saya mengenal dia dari edisi-edisi lama Sinovia saat saya jadi mahasiswa, dari artikel-artikel yang ditulisnya dan bagi saya sangat menggetarkan. Cerdas. Saya mengenal Capra, Ilich, Freire, hingga Kafka dari tulisan-tulisannya.

Pilihannya berhenti saat sampai S.Ked lalu menekuni bidang yang lain sungguh membuat kami mahasiswa yang culun-culun saat itu terperangah.

Ada juga ya orang semacam itu. Namun terakhir saya ketemu di Jasper, berbincang dan bertanya, dia mengaku siapa bilang pilihan itu mudah.

Setiap orang tua mengharapkan anaknya jadi dokter. Fase itu bukanlah sesuatu yang mudah katanya. Bahkan hingga ia mendapatkan beasiswa master dan sekarang menjalankan fase akhir doktoralnya di Australia. Hehehe. Ia dalam pandang mata saya telah menjadi orang yang hebat justeru saat ia memutuskan untuk tidak menjadi dokter.

Dari ketiga orang yang tak biasa yang pernah ada di kedokteran diatas saya kagum dengan keberaniannya memilih dengan hati.

Entah memang seperti itu atau tidak, saya cuma menebak-nebak saja. Ngapain terus menerus memaksa diri pada sesuatu yang hatimu tak disana. Menghabiskan umur. Terpenjara dengan rutinitas yang sama sekali tak menyenangkan.

BACA JUGA:  Ketika Soekarno Tak Punya Uang

Ada yang menarik yang pernah diajarkan tentang mekanisme sistem saraf simpatis tentang respon kita terhadap stimulus. Katanya Cuma dua, “Fight or flight”. Take it or leave it. Jika akhirnya kita memilih, mungkin kita harus memperjuangkannya hingga berdarah-darah.

Sesuatu yang dianggap berharga tak akan pernah diperoleh dengan cara yang mudah apalagi gratis. Sebaliknya jika ia justeru membuat hidup kita seperti neraka, ngapain juga hidup berlama-lama di dalamnya.

Tidak kah lebih baik mengucapkan selamat tinggal sebelum kita berkarat dan tak sadar bahwa waktu telah begitu lama berjalan. Orang-orang yang kita kenal tak lagi ada di sekitaran kita.

Saya menulis ini agar lebih banyak belajar, bukankah pilihan apa pun yang kita ambil tak pernah luput dari resiko dan konsekuensi kata dosen ilmu prilaku. Memilih tak pernah menjadi sesuatu yang mudah. Hehehe. Mungkin juga sekaligus mengingat kawan-kawan seperjuangan. Saya sudah tak ingin lagi memaksa kalian cepat-cepat jadi dokter. Hehehe. Hanya berdoa semoga kalian cepat menemukan apa yang kalian cari, entah sebagai dokter pada akhirnya atau apa pun itu. Salam dari Sumba saudaraku.

(Weetabula, 21/5/2010)