Cerita yang berjudul “Lelaki Langit” ini saya baca secara tidak sengaja ketika membuka Facebook beberapa hari lalu. Entah siapa penulis aslinya, tetapi isinya sungguh sangat menyentuh hati dan membuat saya hanyut dan mengingat sejumlah hal yang belum maksimal saya lakukan dalam kehidupan.
LELAKI LANGIT
Tiba-tiba aku terbangun. Ketika jarum jam menunjuk angka 2.34 pagi. Setengah mengantuk aku bergegas ke kamar kecil. Enam detik kemudian aku terpaku heran. Sudah ada ibu berdiri di depanku.
Kenapa ibu ada di sini? Bukankah almarhumah sudah lama meninggalkan kami. Rasa kantung kemih penuh mendadak hilang ditelan bumi. Seorang lelaki yang tak kukenal berdiri di samping ibu. Badannya kurus, wajahnya tirus.
“Mas Bagus, ibu njaluk tulung yo. (Ibu minta tolong). Kalau umroh titip ini”, ujar ibu dengan logat Jawanya yang kental sambil menunjuk lelaki di sampingnya.
“Nggih Bu. Tapi nuwun sewu, niku sinten toh?” (iya bu, tapi maaf itu siapa) tanyaku heran. Ibu tidak menjawab.
Lelaki itu kupandangi kemudian.
IMRUL.
Aku melihat itu di atas saku kemejanya. Di bawahnya ada berderetan angka. Jelas sekali semuanya terbaca.
Tiba-tiba aku terbangun dan mengerjapkan mata.
“Mas Bagus mimpi lagi ya?” ujar istriku lembut sambil membelai kepalaku.
Jantungku berdegup keras.
“Ini sudah 3 kali mimpi yang sama,” ujarku sambil bergegas pergi ke kamar kecil. Jarum jam 4.34 pagi. Adzan Subuh berkumandang.
Sopirku Pak Sanusi, mendengus pelan di belakang kemudi. Jakarta padat merayap malam hari ini. Duduk di kursi belakang, aku sibuk dengan MacBook Pro menyelesaikan laporan audit tahunan yang hampir jatuh tempo. Saat Pak Sanusi meliukkan Toyota Camryku, aku jadi teringat pada mimpi semlm.
Almarhumah ibu dan Ielaki yang tak pernah aku jumpa. Kemeja bertuliskan Imrul dan sederetan angka.
Mungkinkah deretan angka itu nomor handphone?
Apakah lelaki itu namanya Imrul?
Suara nada tunggu digantikan ucapan salam terdengar dari seberang sana, saat aku coba hubungi nomor tersebut. Suara perempuan.
“Apa saya bisa berbicara dengan Pak Imrul?”, tanyaku sedikit ragu.
Hening tak ada jawaban smp bbrp menit kemudian.
“Assalamu’alaiku, Iya ini dengan Imrul,” suara lelaki sopan.
Degh !! Ini pasti cuma kebetulan, dan jantungku berdegup keras.
Tak ingin berlama-lama di telepon, malam itu aku menyambangi rumah Imrul, lelaki kurus berwajah tirus tersebut. Usianya sekitaran 30 plus-minus.
Kami lesehan di atas lantai semen yang sebagiannya retak, di ruang tamu sebuah rumah petak.
“Panggil Mas Imrul saja,” ujarnya sopan. Aku tersenyum bercampur heran. Dari wajahnya, memang dialah lelaki yang ada dalam mimpiku itu.
“Kalau boleh tahu, Bapak dapat nomor telepon ini dari mana?”
Dan berceritalah aku tentang mimpi aneh yang berulang 3 kali itu. Mas Imrul diam. Wajahnya makin tirus mirip kucing restoran berharap makanan.
“Apa sampeyan pernah bertemu almarhumah ibu saya?” tanyaku sambil menyodorkan foto almarhumah di Instragram-ku. Tak perlu waktu lama buatnya untuk berkata tidak.
Aku menggaruk kepala.
“Mas, kalau bukan karena almarhumah ibu, saya tidak akan pedulikan mimpi itu”, ujarku pelan sambil memegang pundaknya.
“Saya ingin mengajak Mas Imrul pergi umroh.”
“Tapi saya ini mantan napi Pak. Belum sebulan bebas,” ujar Mas Imrul ragu. Sepertinya dia tidak percaya dengan ucapanku / ajakanku umroh.
Bulu tengkuk di leherku berdesir aneh.
***
“Sampeyan dulu kenapa masuk penjara?” tanyaku, duduk di samping Mas Imrul yang sdengan terpesona. Seumur hidupnya dia baru pertama kali naik pesawat sebesar ini. Perjalanan 9 jam di kelas bisnis Jakarta – Jeddah, mubazir rasanya kalau tidak mencari tahu tentang dia. Lelaki biasa, mantan narapidana ini.
“Sebelum masuk bui, kerja saya sebagai satapiam. Belum setahun, kantor yang saya jaga kerampokan. Teman sesama satapiam, ternyata berkomplot. Dua hari sesudah kejadian, semua pelakunya diringkus polisi. Di pengadilan, teman itu berbohong kalau saya ikut terlibat. Padahal, waktu kejadian malam itu saya diikat di toilet. Hakim lebih percaya dia, akhirnya saya dipenjara. Vonisnya dua tahun,” ujar Mas Imrul.
Aku menghela nafas.
“Sebenarnya, yang bikin saya sedih bukan itu Pak,” sambung Mas Imrul. Air matanya sedikit meleleh.
“Lalu apa Mas?” tanyaku penasaran.
“Saya gundah dan khawatir. Kalau saya di penjara, siapa nanti yang akan merawat ibu. Saya anak satu-satunya. Apalagi ibu sudah lama lumpuh dan tidak bisa melihat. Setiap hari saya menyuapi dan memandikannya. Biar gaji kecil, setiap bulan saya selalu cukupkan membeli susu Ibu. Biar ibu tetap sehat.” Kali ini bulir air matanya mulai berjatuhan.
Duh Gusti Allah, ternyata aku jauh dibanding Mas Imrul. Waktu almarhumah ibu dirawat di rumah sakit menjelang wafatnya, aku malah sibuk persiapan rapat pemegang saham perusahaan. Astaghfirullah.
“Terus siapa yang mengurus ibunya Mas Imrul?” tanyaku sembari mengelap mata. Tak terasa aku ikutan menangis juga.
“Saya minta tolong Mbak Yuni, saudara jauh dari kampung. Itu lho, perempuan yang menerima telepon Pak Bagus tempo hari. Kebetulan saya masih ada sedikit tabungan, jadi semua uangnya dipakai buat mengurus ibu selama saya di penjara. Dia yang mengurus ibu semenjak itu. Saya minta dia datang tiap hari ke penjara, menceritakan kondisi ibu. Kalau Mbak Yuni datang dan cerita tentang Ibu, hati saya lega rasanya. Hati selalu was-was kalau Mbak Yuni datangnya telat, khawatir ada apa-apa pada Ibu.”
Aku cuma menunduk. Malu pada lelaki di sampingku ini. Jabatanku mentereng, gaji ratusan juta, tapi tak bisa dibandingkan dengan ketulusan Mas Imrul dalam merawat ibunya. Gusti Allah, apa yang Engkau mau dari pertemuan aku dengan lelaki sholeh ini? Biar aku sadar kesalahanku? Bukankah percuma krn almarhumah sudah tiada?
“Baru 6 bulan di penjara, Mbak Yuni kapan itu gak datang dua hari Pak”, Mas Imrul melanjutkan ceritanya. “Saya was-was. Ternyata Ibu saya meninggal dunia Pak. Sedihnya lagi, Pak sipir penjara nggak ngebolehin saya keluar sebentar buat nyekar ke makam. Saya cuma bisa nangis di penjara Pak. Mohon ampun sama Allah.”
Air mataku menderas. Duh Gusti Allah, cobaan hidup lelaki ini ternyata berat. Aku belum tentu kuat menjalaninya.
“Mas Imrul kan vonisnya 2 th. Kenapa bisa bebas lebih cepat?” tanyaku sambil menyeka air mata.
“Oh, kalau itu karena kasus saya diperiksa kembali sama polisi dan pengadilan Pak,” ujarnya sambil ragu mengambil kain hangat yang disodorkan awak kabin.
“Setelah sidangnya diulang, terbukti saya memang tidak bersalah. Teman yang berkomplot itu akhirnya berterus terang,” ujar Mas Imrul pelan. “Sebetulnya saya sudah memaafkan teman itu. Sejak pertama kali difitnah.”
“Sejak pertama kali sudah memaafkan?” tanyaku tambah heran.
“Iya Pak Bagus. Kalau ada orang memfitnah, buat saya cuma dua. Kalau fitnah itu benar, maka saya mohon ampun sama Allah. Tapi kalau fitnah itu salah, maka saya maafkan dan mohon ampunkan dia dari kemurkaan Allah,” ujarnya datar.
Degh !! Aku langsung teringat fitnah yang menimpaku setahun yang lalu. Aku dituduh memanipulasi laporan pajak perusahaan. Si penuduh berhasil aku sikat habis di pengadilan. Aku beruntung dpt pengacara yang handal, tapi sekarang aku menyesal. Mengapa sepertinya kata maaf tidak pernah ada dalam kamus hidupku selama ini.
Ternyata lelaki ini bukan orang biasa. Mas Imrul, seorang satapiam mantan narapidana, tidak terkenal di bumi, tapi terkenal di langit. Inilah lelaki langit yang semua malaikat pencatat kebaikan pasti mengenalnya.
Tiga hari di Mekkah kami menginap di Royal Clock Tower. Aku dan Mas Imrul menghabiskan seluruh hari penuh dengan ibadah. Tak cuma itu. Ada yang spesial di umrah kali ini dan itu semua karena Mas Imrul.
Aku biasa telat sholat fardhu, lalu sholat berjamaahnya cuma di dekat hotel. Tapi tidak saat bersama Mas Imrul. Kami selalu berada di shaf depan, melihat langsung Ka’bah.
Aku belum pernah mencium hajar aswad padah umrah berkali-kali, tapi tidak saat bersama Mas Imrul. Badannya yang kurus justru berhsl membawaku mencium batu hitam itu berkali-kali sepuasnya. Kami juga sholat di hijir Ismail dan lama berdo’a di Multazam, antara hajar aswad dan pintu Ka’bah. Semuanya lancar tanpa halangan.
Mas Imrul terlihat sangat menikmati perjalanan umroh ini. dalam benakku, kalau pulang nanti dia akan aku pekerjakan sebagai satapiam di rumahku.
Hari keempat kami berangkat ke Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawaroh. dalam bis VIP Mas Imrul lebih banyak diam dan berdzikir.
“Kalau saya perhatikan, Mas Imrul tak pernah kelihatan susah,” ujarku sambil memiringkan sedikit badan ke arahnya.
“Allah yang membolak-balikkan hati Pak,” ujarnya datar. “Maka mintalah itu pada-Nya. Kalau kita menjaga Allah, kita pun akan dijaga-Nya.”
“Maksudnya menjaga Allah itu bagaimana Mas?”
“Jaga Allah dengan menyempurnakan hari,” ujar Mas Imrul serius.
“Maksudnya bagaimana Mas?”
“Hari yang sempurna itu diawali dengan bangun malam. Sholat tahajjud dan witir. Minimal 2 plus 1. Lalu Dhuha minimal 2, dan sholat rawatib yang jmlhnya 12 raka’at. Utamanya sholat sunnah fajar sebelum subuh. Selalu sholat wajib berjama’ah di masjid. Membaca Al-Qur’an minimal 1 juz setiap hari. Senin-Kamis puasa sunnah. Itulah hari yang sempurna.”
Aku hanya terpana. Mobil Camry dan rumah mewah hasil jerih payahku, jadi seperti harta tak bermakna.
Sampai di Madinah, setelah sholat ashar di masjid Nabawi, kami berdesakan menuju Rawdhah. Area khusus dengan karpet hijau itu memang jadi rebutan para jama’ah.
Kami menunggu giliran dengan sabar, berdiri di belakang pembatas putih. Ketika petugas masjid membukanya, serentak setengah berlari kami menuju pojok paling dekat dengan tembok di sebaliknya makam Rasulullah ?
“Mas, ayo cepat sholat di sini. Perbanyak istighfar, shalawat dana do’a. Ini salah satu tempat yang paling mustajab buat berdo’a,” ujarku sambil bersiap-siap sholat.
Di sampingku Mas Imrul dengan khusyu’ mendirikan sholat sunnah. Selesai sholat, aku duduk berdo’a di sampingnya yang masih berlama-lama sujud. Area rawdhah sudah sesak dipenuhi jama’ah.
Tak sampai 10 menit kemudian, muncul petugas masjid menyuruh kami segera pergi. Waktu sudah habis. Sekarang giliran jama’ah lainnya yang sudah menunggu di balik pembatas putih.
Aku melihat Mas Imrul masih sujud. Petugas masjid menepuk pundak-ku, menyuruh kami segera pergi. Entah do’a apa yang dipanjatkan Mas Imrul, mengapa begitu lama.
Aku mengguncang halus punggungnya. Badannya terguling lemah. Mas Imrul telah tiada. Wajah tirusnya tersenyum damai. Dia meninggal dalam keadaan terbaiknya. Husnul khotimah saat sujud di Rawdhah, taman surga.
Badanku lemas. Jantungku berdegup kencang.
Lelaki langit telah kembali kepada Rabb-nya.
***
Aku duduk sendiri di kelas bisnis. Penerbangan Jeddah – Jakarta terasa lengang. Baru saja aku terlelap di kursi, suara awak kabin membangunkan para penumpang untuk makan malam, 6 detik kemudian aku terduduk diam. Kenapa ibu yang membangunkanku? Ibu kan sudah meninggal.
“Mas Bagus, matur nuwun sanget,” ujar ibu dengan logat Jawanya yang kental dana senyum khasnya.