AsriTadda.com
 

Halalbihalal di Era Digital, Merawat Tradisi dalam Lanskap Teknologi

LEBARAN bukan hanya soal kemenangan spiritual, tetapi juga momen mempererat silaturahmi. Salah satu tradisi khas Indonesia pasca-Idulfitri adalah halalbihalal, ajang saling memaafkan dan berkumpul dalam suasana kekeluargaan.

Halalbihalal di Era Digital: Merawat Tradisi dalam Lanskap Teknologi

Namun di era digital seperti sekarang, bentuk dan makna halalbihalal mulai mengalami pergeseran. Digitalisasi yang telah menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk relasi sosial, membuat kita perlu meninjau kembali bagaimana tradisi ini bisa tetap hidup dan relevan.

Jika dulu halalbihalal identik dengan berjabat tangan dan bertatap muka langsung, kini tradisi itu telah bertransformasi dalam bentuk digital—mulai dari ucapan maaf melalui pesan instan, video call keluarga besar, hingga penyelenggaraan halalbihalal daring via Zoom atau Google Meet.

Pandemi COVID-19 mempercepat adopsi bentuk ini, dan dalam banyak hal, ternyata cukup efektif menjaga silaturahmi meski tanpa kehadiran fisik.

BACA:  Pilkada dan Opsi Anggota DPRD via Jalur Perseorangan

Namun, di sisi lain, terjadi pengurangan dimensi emosional yang selama ini menjadi kekuatan utama halalbihalal. Senyuman hangat, pelukan penuh rindu, atau tatapan mata saat mengucap maaf tak mudah tergantikan oleh emoji atau suara dari layar ponsel.

Digitalisasi: Ancaman atau Peluang?

Pertanyaannya: apakah digitalisasi merupakan ancaman bagi kelestarian tradisi halalbihalal, atau justru peluang untuk memperluasnya?

Jawabannya bisa keduanya, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jika digitalisasi hanya dipahami sebagai pengganti kehadiran fisik, maka yang terjadi adalah pelemahan makna.

Namun jika teknologi dimanfaatkan untuk menjangkau lebih banyak orang, membuka ruang interaksi yang sebelumnya tak mungkin dilakukan karena jarak dan waktu, maka halalbihalal justru bisa tumbuh lebih luas.

BACA:  Simalakama BPJS

Bayangkan, dengan teknologi, seorang perantau di luar negeri bisa ikut halalbihalal keluarga besarnya di kampung halaman. Seorang tokoh bisa menyampaikan pesan-pesan maaf dan persatuan ke ribuan pengikutnya dalam sekali siaran langsung. Inilah peluang yang perlu dikelola dengan bijak.

Membangun Kehadiran Digital yang Hangat

Tantangan selanjutnya adalah bagaimana membangun kehangatan dan kedalaman emosi dalam ruang digital.

Di sinilah pentingnya etika komunikasi digital, seperti menggunakan kata-kata yang tulus, menyapa dengan penuh perhatian, bahkan meluangkan waktu untuk video call personal alih-alih hanya broadcast pesan massal.

Teknologi hanyalah alat. Sentuhan manusialah yang menentukan kualitas interaksi. Kita bisa tetap menjadikan halalbihalal digital sebagai sarana memperkuat silaturahmi jika kita tidak kehilangan roh utamanya: ketulusan, kerendahan hati, dan semangat persaudaraan.

BACA:  Menyoal Gerakan Mahasiswa: Dulu, Kini dan Esok

Seperti air yang menyesuaikan bentuk wadahnya, tradisi harus mampu beradaptasi dengan zaman.

Halalbihalal yang dulunya hanya berlangsung di balai desa, masjid, atau ruang tamu, kini bisa hadir di ruang-ruang virtual tanpa kehilangan maknanya. Dengan syarat kita tidak sekadar menggugurkan kewajiban sosial, tetapi sungguh-sungguh ingin menyambung kembali tali kasih dan saling memaafkan.

Digitalisasi tidak harus jadi alasan untuk mereduksi makna tradisi, tetapi justru peluang untuk memperkaya dan memperluasnya. (*)

Makassar, 23 April 2025

Asri Tadda

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *