Oleh: Asri Tadda – Pengurus Kerukunan Keluarga Luwu Timur (KKLT)
Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman tegas menolak wacana perpanjangan Kontrak Karya PT Vale yang akan berakhir pada tahun 2025 mendatang.
Hal tersebut terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Sekjen dan Plh Dirjen Minerba Kementerian ESDM RI dengan Gubernur Sulawesi Selatan, Gubernur Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara oleh Panja Vale Komisi VII DPR RI di Ruang Rapat Komisi VII DPR RI, Jakarta, Kamis (8/9/2022).
Sebagai catatan, berdasarkan dokumen Kontrak Karya yang diperbarui pada 17 Oktober 2014 dan berlaku hingga 28 Desember 2025, lahan konsesi yang dimiliki PT Vale seluas 118.017 hektar, meliputi Luwu Timur Sulawesi Selatan (70.566 hektar), Sulawesi Tengah (22.699 hektar) dan Sulawesi Tenggara (24.752 hektar).
Meski telah beroperasi selama 54 tahun, PT Vale (dulunya PT Inco) sejauh ini baru mengelola 8.000-an hektar, atau sekitar 7% saja dari keseluruhan wilayah Kontrak Karya.
Karena itu, sudah waktunya Pemprov Sulsel dan Pemkab Luwu Timur tidak hanya menjadi penonton atau penjaga kebun saja.
“Kita harus berdaulat di wilayah sendiri, bagaimana memperjuangkan hak-hak masyarakat,” kata Andi Sudirman yang turut diamini oleh Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi dan Gubernur Sulawesi Tengah Rusdy Mastura.
Dalam rencana Gubernur, investor swasta yang hendak ikut mengelola wilayah eks Vale tidak boleh masuk Sulawesi Selatan kecuali melalui Pemerintah Provinsi dan Luwu Timur selaku pemilik wilayah.
“Akan dibentuk Badan Usaha Baru sebagai perusahaan patungan (Joint Venture) dengan ketersediaan penyertaan saham paling banyak 49% sehingga BUMD Provinsi Sulsel tetap menjadi pemegang saham kendali,” papar Andi Sudirman dikutip dari Kontan.co.id (09/09).
Kedaulatan Rakyat
Apa yang disuarakan oleh Gubernur Sulawesi Selatan baru-baru ini, tentu menjadi catatan tersendiri terutama ketika merujuk pada pengejewantahan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Tambang nikel yang dikelola oleh PT Vale selama ini memang seyogyanya dapat memberikan kontribusi sosial ekonomi yang layak bagi rakyat, terutama yang berada di sekitar wilayah tambang. Hal yang hingga saat ini masih menuai pro-kontra.
Meski pihak perusahaan selalu berdalih telah menjalankan kewajiban CSR dengan menyisihkan kontribusi secara langsung maupun tak langung bagi rakyat di wilayah konsesi, namun hal ini tetap dianggap belum memadai jika dibandingkan dengan keuntungan yang diraih perusahaan selama ini.
Sepanjang tahun 2021 lalu, PT Vale mencatatkan laba 953 juta USD, atau sekitar 14 triliun rupiah. Sebuah angka yang tidak kecil meski baru mengelola sekitar 7% wilayah konsesi Kontrak Karya.
Karena itu, penegasan Gubernur Sulsel yang menolak perpanjangan KK PT Vale sesungguhnya punya dasar yang cukup realistis. Selama ini, kemiskinan di wilayah sekitar tambang PT Vale belum juga terkoreksi secara signifikan.
Di Sulsel, sebagaimana dijelaskan Gubernur, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang laju pertumbuhannya terendah adalah Luwu Timur yang notabene merupakan lokasi dari pertambangan PT Vale.
Selain itu, selama ini baik Pemerintah Propinsi Sulsel maupun Pemerintah Kabupaten Luwu Timur boleh dikata tidak menjadi bagian dari pemilik perusahaan yang sudah beroperasi 54 tahun itu.
Saat ini, komposisi saham PT Vale terdiri atas Vale Canada Limited sebesar 44,3 persen, MIND ID sebanyak 20 persen, Sumitomo Metal Mining 15 persen, dan publik sebesar 20,7 persen. Padahal Undang-Undang No.4/2009 tentang Minerba mengharuskan saham Vale dikuasai pemerintah Indonesia minimal 51%.
Pertanyaannya, sudah berapa persen saham Vale yang dimiliki oleh Pemkab Luwu Timur maupun Propinsi Sulawesi Selatan? Jawabannya adalah nol persen! Semuanya masih milik MIND ID, dan itupun baru 20% saja. Fakta ini memang sedikit mencederai prinsip keadilan.
Sebagai acuan, pada divestasi saham PT Freport (PTFI), Pemerintah Daerah Papua mendapatkan 10% saham PTFI ditambah 6% dari net profit yang diberikan ke daerah (2,5% untuk Mimika dan 2,5% utk kabupaten lainnya serta 1% untuk propinsi).
Bagaimanapun, sebagai perusahaan tambang yang sudah beroperasi puluhan tahun di Tana Luwu dengan sejumlah dampak ekologis yang ditimbulkan, sudah saatnya PT Vale memberikan timbal balik proporsional kepada masyarakat di daerah ini.
Imbal balik itu setidaknya dalam bentuk kepemilikan minimal 10% saham dan pembagian hasil keuntungan bersih (net profit) setiap tahunnya, diluar alokasi dana CSR yang sudah jadi kewajiban perusahaan kepada pemerintah dan masyarakat setempat.
Karena itu, menjelang momentum berakhirnya Kontrak Karya PT Vale tahun 2025 mendatang, sikap Pemkab Luwu Timur maupun Pemprov Sulsel memang harus tegas setegas-tegasnya.
Jika Luwu Timur dan Sulawesi Selatan tak diberikan alokasi saham yang proporsional setidaknya seperti proporsi saham PT Freeport di Papua, maka menjadi sangat layak dan rasional menolak perpanjangan Kontrak Karya tersebut.
Soal Lahan ex Vale
Lahan tambang bekas PT Vale masih sangat layak untuk dikelola. Ada sejumlah blok wilayah ex Vale yang saat ini belum memiliki tuan yang baru. Kementerian ESDM rencananya akan melelang lahan tersebut kepada siapapun investor yang ingin berinvestasi.
Nah, ini juga bisa menjadi masalah baru jika tak dikelola dengan baik. Mencermati nuansa ‘ketidakadilan’ distribusi bagi hasil PT Vale selama ini, maka opsi menyerahkan lahan ex Vale kepada Pemerintah Daerah adalah pilihan yang cukup bagus.
Karena itu, rencana Gubernur yang akan mengoptimalkan joint venture antara Perseroda Sulsel dengan BUMD Luwu Timur untuk mengelola lahan ex Vale sesungguhnya adalah sebuah “jalan baru” bagi daerah untuk juga bisa menikmati hasil tambangnya sendiri.
Hanya saja, patut digarisbawahi bahwa setiap upaya eksplorasi pertambangan tentu akan menyisakan banyak dampak lingkungan. Semangat berdikari mengelola potensi sumber daya alam milik sendiri tentu tidak boleh terlepas dari kepedulian akan dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
Tetapi saya yakin, badan usaha baru sebagai joint venture Luwu Timur dan Sulsel dalam pengelolaan lahan tambang ex Vale nantinya tentu bisa beroperasi dengan baik. Setidaknya bisa mencontohi PT Vale dalam pengelolaan lingkungan tambang yang telah mendapat predikat baik di mata dunia internasional.
Sudah saatnya kita tunjukkan bahwa pemerintah daerah juga bisa memberikan kinerja terbaik untuk mengelola lahan tambang sendiri, tak kalah dari investor dari luar negeri. Toh selama ini kita juga sudah cukup banyak belajar, bukan? **
Opini ini hanya pendapat pribadi, tidak mewakili sikap organisasi. Sebelumnya telah terbit di TribunTimur Online.