Negara Miris Hati

Kalau dibilang nasionalis sih, mungkin iya! Soalnya saya wajib nasionalis karena saya adalah warga negara. Karena nasionalisme inilah makanya perasaan miris di hati itu selalu saja menggelayut bagaikan kegundahan ditinggal pacar pergi sekolah di tempat nan jauh.

Ini bukan soal pilihan politik. Sebagai warga negara, saya selalu menginginkan negeri ini aman dan sejahtera, agar pembangunan bisa berjalan lancar. Toh, jika stabilitas tidak ada, baik di sektor ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatan, susah nian berharap pembangunan terwujud dengan baik.

Saya miris hati karena pejabat dan pembesar di pucuk kepemimpinan negeri ini bak kehilangan jati diri keindonesiaan yang sejak SD selalu dicamkan ke dalam otak oleh para guru PMP.

BACA JUGA:  Tantangan RS Regional Baru di Era JKN

Gontok-gontokkan, tarik-menarik kepentingan politik, carut-marut penegakan hukum, keadilan yang semakin menjauh dan sejuta fakta miris lainnya.

Saya miris hati karena tak ada lagi rambu dan panduan mengelola negara ini. GBHN yang boleh diistilahkan sebagai project design Indonesia, sudah dihapus tanpa ganti. Lalu, ke mana negeri ini akan dibawa oleh para pemimpinnya? Miris!

Saya juga miris karena DPR dan MPR sudah tidak ada bargaining lagi. Semuanya tergadai. Meski ada sejumlah fraksi yang menjadi oposan pemerintah, toh pada akhirnya keok juga kalau mau voting pengambilan keputusan.

Saya miris hati karena gerakan mahasiswa yang dulu selalu kita agung-agungkan sebagai kekuatan dahsyat yang menyambung lidah rakyat, kini sudah kendor dan nyaris tanpa makna lagi. Terbeli.

BACA JUGA:  Masih Perlukah Pilkada Langsung?

Saya hanya bisa berdoa semoga fase miris ini segera berlalu dan berganti dengan masa dimana pemerintah benar-benar bekerja untuk rakyat, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Amin.