AsriTadda.com
 

Waspada Belanja Makanan via Aplikasi Online

Kehadiran ojek online melalui aplikasi smartphone beberapa tahun terakhir telah memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi rakyat.

Sebagai contoh adalah kontribusi Go-Jek, salah satu operator ojek online di Indonesia. Riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) yang dihelat pada penghujung tahun 2017 menunjukkan angka sebesar Rp 9,9 triliun per tahun terhadap perekonomian Indonesia. Nilai tersebut didapatkan dari kontribusi penghasilan mitra pengemudi Go-Jek sebesar Rp 8,2 triliun dan melalui mitra UMKM sebesar Rp 1,7 triliun setiap tahunnya. Angka tersebut baru dari Go-Jek saja, belum dari Grab dan ojek online lokal lainnya.

Ojek online memang menimbulkan efek berganda (multipler effect) yang besar, bukan hanya di sektor transportasi, tetapi juga di sektor lainnya, terutama ekonomi mikro. Salah satu dampak dari penetrasi ojek online adalah tumbuhnya industri makanan skala rumah tangga yang disupport melalui aplikasi Go-Food maupun GrabFood.

Inilah wajah industri era 4.0. dimana setiap orang bisa memiliki bisnis menggunakan ponselnya saja, tak perlu kantor atau toko. Saat ini, hanya melalui aplikasi ojek online, seseorang bisa mulai membuka toko makanan dan menjajakannya kepada jutaan pengguna aplikasi tanpa harus repot berpromosi menggunakan biaya sebagaimana lazimnya bisnis konvensional. Cukup dengan modal foto-foto menu makanan yang menarik, omset sudah bisa naik.

BACA JUGA:  KKLR dan Masa Depan Luwu Raya

Teknologi memang mulai menembus batas-batas demarkasi ekonomi yang selama ini tidak lazim dilakukan. Kecepatan pertumbuhannya bahkan sering tidak bisa terkejar oleh regulasi yang ada sehingga kerap memicu munculnya masalah-masalah baru di masyarakat. Di satu sisi teknologi memudahkan urusan manusia, tetapi di sini lain kerap menimbulkan aneka kekhawatiran.

Beberapa Masalah

Industri jual-beli makanan melalui teknologi aplikasi Go-Food maupun GrabFood telah membantu pertumbuhan ratusan ribu usaha kecil berskala rumah tangga di negeri ini. Konsumen pun semakin dimanjakan dengan suguhan aneka menu makanan yang bervariasi, tinggal pencet tombol order maka paket pun segera diantarkan driver ojek online tanpa harus repot keluar rumah atau kantor.

Order Makanan Online via Aplikasi

Masalah kemudian muncul terkait dengan standar kesehatan dan kehalalan makanan yang dijajakan oleh mitra melalui aplikasi online, khususnya yang dikelola oleh mitra skala rumah tangga. Saat ini setiap orang bisa dengan mudah mendaftar sebagai mitra Go-Food atau GrabFood tanpa harus diperiksa persyaratan hygiene sanitasinya sebagai penjaja makanan olahan, sehingga bisa saja makanan yang dijualnya tidak memenuhi standar kesehatan yang berlaku.

BACA JUGA:  Menyoal Gerakan Mahasiswa: Dulu, Kini dan Esok

Sebagai catatan, hygiene sanitasi makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapan yang digunakan dalam proses pengolahan makanan yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan kepada orang yang mengkonsumsi makanan tersebut.

Sebagai konsumen, masyarakat yang membeli makanan via aplikasi ojek online wajib dilindungi oleh pemerintah. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1098/MENKES/SK/VII/2003 tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah Makan dan Restoran secara umum telah mengatur bahwa setiap rumah makan dan restoran wajib memiliki sertifikat laik hygiene sanitasi yang dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Kepmenkes tersebut mencatat bahwa yang dimaksud sebagai rumah makan adalah setiap tempat usaha komersial yang ruang lingkup kegiatannya menyediakan makanan dan minuman untuk umum di tempat usahanya. Nah, apakah mitra skala rumah tangga yang menjajakan makanan via aplikasi online tersebut dapat dikategorikan sebagai rumah makan?

Itu dari sisi kesehatannya. Belum lagi jika kita menyoal kehalalan makanan yang sesungguhnya sangat fundamental dalam hidup seorang muslim. Sebagai konsumen terbesar di negeri ini, kaum muslim harus mendapatkan perlindungan hukum untuk akses yang luas terhadap makanan halal, termasuk makanan yang dijajakan melalui aplikasi ojek online. Masalahnya, belum ada peraturan spesifik yang mewajibkan industri skala rumah tangga untuk hanya menjual makanan halal kepada konsumennya.

BACA JUGA:  Anies Baswedan dan Harapan Pembangunan Kesehatan

Makassar Halal Movement

Faktanya, tidak sedikit penjual makanan via aplikasi merupakan non-muslim yang juga menggunakan peralatan dapurnya untuk memasak makanan keluarga. Dari sini, status kehalalan produk yang dijualnya menjadi patut dipertanyakan karena persoalan halal-haram bukan saja dilihat dari asal-muasal produk, melainkan juga dipengaruhi oleh bahan dan alat yang digunakan dalam proses pengolahannya.

Merujuk pada UU No.33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, maka persoalan ini mungkin bisa teratasi asalkan UU tersebut sudah memiliki sejumlah aturan turunan dan perangkat kelembagaan yang dibutuhkan untuk bisa diberlakukan secara efektif di Indonesia.

Karena itulah, sembari menunggu terbitnya regulasi yang jelas terkait standar kesehatan dan kehalalan produk makanan via aplikasi online, mau tak mau, sebagai konsumen kita harus meningkatkan kewaspadaan saat akan membeli makanan melalui aplikasi online. Pastikan kehalalan dan kesehatannya dulu baru diorder.

*Asri Tadda adalah Direktur Eksekutif Madising Foundation dan Inisiator Makassar Halal Movement (MARHAM). Artikel ini juga telah terbit di koran Tribun Timur edisi Jumat, 25 Mei 2018.

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *