AsriTadda.com
 

Facebook Re-post: Polemik Kurikulum di Fakultas Kedokteran

Ini bukan tulisan saya. Saya hanya di-tag pagi ini oleh seorang junior angkatan saya di Fakultas Kedokteran Unhas Andi Fadlan Irwan. Isinya seputar polemik kurikulum di Fakultas Kedokteran Unhas. Ini adalah tulisan anak Sinovia, sekaligus teman angkatan Fadlan, Witono Gunawan:

Selama ini biasa terdengar suara-suara yang menyatakan ” Oh, ini mi anak kuliah sistem, masa musculus gastrocnemius dia bilang ada di lambung.” Terdapat pula suara-suara lain yang menyatakan ” Masa vertebra cervical dia bilang ada delapan”…. Masih banyak suara-suara seperti itu yang saya dengarkan dari guru-guruku sendiri.

Sekarang yang menjadi suatu tanda tanya besar dalam kepalaku adalah kalau memang kurikulum blok/sistem itu kurang baik maka kenapa kita harus menggunakan kurikulum seperti itu? Ataukah masih ada persilangan pendapat diantara guru-guruku antara yang pro dan kontra dengan kurikulum ini?

INPUT–> PROSES–> OUTPUT

Kira-kira seperti itulah proses sederhana pembentukan jati diri seseorang dalam suatu institusi pendidikan. Apakah pernyataan-pernyataan pada awal tulisan muncul karena input yang salah? Atau karena proses yang salah? Atau karena pribadi mahasiswa itu sendiri yang salah?

Dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyoroti proses input yang ada dalam lingkungan fakultas kedokteran, yang akan menjadi perhatian utama saya adalah PROSES yang ada.

Kita saat ini sering mendengar kata “student center learning” dan “problem based learning“. Mendengar kata-kata seperti itu terlihat sangatlah keren yang alih-alih membuat pelajar menjadi seorang pelajar yang mandiri menjadi terperosok dalam jurang kultur peradaban yang ada saat ini.

BACA JUGA:  Caleg Juga Perlu Miliki Visi Misi

Berikut adalah beberapa fakta yang ada:

Saat ini, dalam perkuliahan preklinik dengan istilah sistem, mahasiswa angkatan 2007 hanya mengikuti praktikum anatomi sebanyak kurang lebih 10 kali. Praktikum faal sebanyak 2 kali, praktikum histologi sebanyak kurang lebih 11 kali, dan praktikum-praktikum lainnya yang tidak melebihi 12 kali. Semuanya itu dilakukan dalam kurun waktu tiga tahun dengan jumlah mahasiswa tiap praktikum yang sangat banyak dan dengan jumlah preparat yang kurang mencukupi perbandingan dengan mahasiswa sebanyak itu.

Mengenai perkuliahan sendiri, perkuliahan itu biasanya dimulai pada pukul 07.30- 14.50 atau 07.30-16.30, dengan ruang kelas yang cukup padat, untuk kapasitas RKF, mahasiswa yang duduk dibelakang seringkali sudah tidak mengerti apa yang dijelaskan oleh dosennya, dan perlengkapan sound system yang sering bermasalah.

Mengenai CSL atau latihan keterampilan klinik, saya harus mengakui bahwa fakultas tempatku bernaung saat ini sudah sangat baik dalam mengelola proses berjalannya proses pembelajaran dengan membagi ke kelompok-kecil dengan perlengkapan yang sudah sangat bagus.

Mengenai PBL, ini pun menjadi hal yang aneh menurut saya, karena berdasarkan skenario yang diberikan sebagai ‘problem’ seringkali membuat kami berpikir hanya berdasarkan sistem yang sedang dipelajari tanpa disertai dasar yang benar-benar kuat.

Mahasiswa pada saat PBL seringkali mengatakan “menurut apa yang dikatakan buku ini bla…bla…bla…” Dimana pola analisa yang bisa kita temukan disini ?? Walaupun memang kita menerapkan Evidenced Based Medicine.

Yang kami kerjakan selama ini hanyalah memindahkan daftar penyakit yang ada di buku dan disusun menjadi suatu laporan kelompok PBL.Bahkan selama ini pun, alih-alih mencetak pola pikir yang divergen sebagai seorang dokter malah seringkali kita terperosok ke dalam proses pemikiran tanpa arah.

BACA JUGA:  Simalakama BPJS

Bisakah seseorang membangun rumah yang tinggi dan kuat tanpa fondasi yang kokoh? Itu pun menjadi pertanyaan bagi kami mahasiswa kedokteran saat ini.

Kultur kaum borjuis dan money oriented yang beredar dimasyarakat saat ini disertai dengan fondasi ilmu dasar kedokteran yang rapuh akankah menjadikan kami seorang dokter yang handal ke depannya…

Hal itu pasti akan dijawab “Yah, itu tergantung kamu mau belajar atau tidak.” Pernyataan itu tidak salah namun tidak sepenuhnya juga benar”

“Student center learning” sudahkah benar-benar pas dengan kultur anak muda Makassar saat ini yang ada di Fakultas kedokteran. Kegiatan per hari anak kedokteran saat ini dari pukul 07.30- 16.30 pergi kuliah (bagus kalo ikut kuliah), terus pulang kuliah pergi jalan-jalan, pergi nonton, pergi karaoke, maen FB,mengurus kebutuhan harian bagi yang kos-an,dll ( Stress bd), trus pulang istirahat, besoknya yah begitu lagi. Hari Sabtu merupakan hari kemahasiswaan bagi yang aktif berorganisasi dan hari libur bagi yang mahasiswa kampus – rumah.

Masih adakah kita melihat tanda-tanda “student center learning” disini. Saya tidak membicarakan masalah soft skill dan sebagainya yang saya bicarakan adalah isi ilmu yang akan menjadi kompetensi kita nantinya. Haruskah kita mempersalahkan mahasiswa tersebut?

Problem based learning” sudah bukan menjadi nama yang tepat melainkan menurut aplikasi yang ada saat ini nama yang tepat adalah “system based learning” ya itulah nama yang cocok karena kita menelaah masalah berdasarkan sistem dan fondasi yang benar-benar parah.

BACA JUGA:  Pilkada dan Urgensi Parpol Lokal

Saya tidak mengatakan kurikulum ini buruk, tapi apakah kurikulum ini benar-benar cocok dengan kultur pemuda saat ini, dengan hasil-hasil input yang ada? (Makin banyak kaum borjuis di FK)

Tersedianya berbagai fasilitas saat ini memang sangat menunjang proses student center learning, tapi sudahkah itu menghasilkan buah yang baik ? Sudahkah itu seimbang dengan kurikulum blok atau sistem yang ada? Sudahkah itu dimanfaatkan dengan baik dengan melihat kesibukan dan aktifitas para mahasiswa ( pengunjung perpustakaan perhari sangat sedikit, jauh sekali bd di lantai 3)?

Sudahkah itu seimbang dengan kuantitas mahasiswa saat ini untuk memperoleh “hak untuk diajar”?

Seringkali sebagai mahasiswa pre klinik, saya merasa kami dianggap begitu rendahnya dari segi pengetahuan oleh senior-senior di FK bukan karena kami bodoh melainkan karena kurikulum yang sedang kami jalani ini yang menimbulkan pernyataan seperti pada awal tulisan ini.

Saya kurang setuju dengan kurikulum blok yang ada saat ini, begitu pun beberapa dari guru kami, tapi kok masih dijalankan ?
Kalau masih dijalankan, berarti kurikulum sistem / blok telah terbukti baik. Hhmmm… Nyatanya ???
Kalau begitu mahasiswanya dong yang bermasalah ?? Apakah itu benar ??
Atau mahasiswanya yang terlalu banyak ??

Masing-masing mahasiswa preklinik dan output kuliah sistem blok bisa menjawabnya…

Terima kasih.
Kritik, komentar, dan saran diperlukan..:-)

3 KOMENTAR

  1. Artikel yang Baik sekali Bung Asri…

    Saya dr. Bhakti Gunawan dari Jakarta,

    Saya termasuk salah satu dokter hasil dari pendidikan Kedokteran dengan pendekatan Klasik ( model lama ) dan bukan hasil dari PBL atau SBL, KBK atau apalah istilah lain sebutannya.

    Kondisi yang anda ceritakan dalam artikel diatas memang benar – benar terjadi dan hampir di seluruh FK yang menerapkan PBL KBK, dan ini tentu saja menjadi keprihatinan tersendiri bagi kami dokter yang telah bekerja dalam dunia klinis.

    Namun…, seperti yang telah anda jelaskan diatas tentang input – proses – output, saya kira semua hasil yang didapat oleh siswa didik di FK bukan hanya tergantung dari proses tetapi juga dari input yang didapat oleh siswa.

    Saya jadi teringat ketika saya masih di bangku kuliah… saya termasuk siswa yang tidak sepenuhnya mengikuti konsep dan metode klasik / tradisional yang tanamkan pada saya.

    Saat itu saya mempunyai cara dan konsep pendekatan sendiri yang menurut saya lebih, mudah, sistematik, analitik dan detil dalam hal saya memahami suatu materi. Konsep ini masih saya pakai sampai sekarang.

    Dan sekarang ini saya baru menyadari bahwa konsep dan cara yang saya gunakan ternyata dapat digunakan sebagai " Jembatan " yang menghubungkan antara pendekatan pendidikan kedokteran Klasik dengan PBL / KBK. Mengapa demikian ??. Karena pada konsep ini saya mempunyai pemahaman bahwa materi kuliah ( input ) yang mudah dicerna, dapat dilihat secara utuh, aplikatif, analitik,detil,mudah diingat dan mudah di " recall " kembali, tentunya akan membuat siswa mudah menguasai setiap materi yang diberikan tanpa melihat metode pendekatan yang di pakai.

    Hal lain lagi… tanpa saya sadari konsep yang saya gunakan selama ini menjadikan saya lebih kreatif dalam belajar dan aktifitas lain, karena ternyata konsep ini mengaktifkan sisi otak kanan saya.

    Kesimpulan yang saya bsa berikan saat ini adalah " semua metode / pendekatan belajar di FK tidak ada yang salah dan tidak ada yang jelek. semua berkualitas dan bertujuan menjadikan siswa didik nya menjadi dokter yang berkualitas dari segi Knowledge, Skill dan Attitude nya " . yang diperlukan saat ini adalah " Media / Sarana " yang menjembatani kedua pendekatan tersebut agar benar – benar aplikatif dan sesuai dengan tujuan nya.

    Untuk konsep yang saya gunakan, Alhamdulillah telah saya Buku-kan dan mudah – mudahan dalam waktu tidak lama lagi ada penerbit yang mau menerbitkan Buku saya ini. Tujuan nya tidak lain tidak bukan, hanya untuk Kemajuan kedokteran dan Pembangunan Kesehatan Indonesia.

    Bravo Pembangunan Kesehatan Indonesia.

    dr. Bhakti Gunawan

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *