AsriTadda.com
 

Kepemimpinan: Disiapkan atau Diwariskan?

DALAM sejarah bangsa mana pun, kepemimpinan selalu menjadi faktor penentu kemajuan atau kemunduran. Namun, bagaimana seorang pemimpin itu lahir—apakah melalui proses pembentukan yang matang atau sekadar hasil warisan kekuasaan—adalah soal besar yang tak bisa dikesampingkan.

Di sinilah letak perbedaan fundamental antara kepemimpinan yang disiapkan dan kepemimpinan yang diberikan atau diwariskan.

Kepemimpinan: Disiapkan atau Diwariskan?

Kepemimpinan yang Disiapkan

Kepemimpinan yang disiapkan lahir dari proses panjang. Ia diwarnai oleh pembelajaran, pengalaman, jatuh bangun, hingga penempaan nilai-nilai tanggung jawab publik.

Figur pemimpin model ini tidak serta-merta hadir karena lahir dalam keluarga politik, melainkan karena ia membuktikan dirinya layak memimpin.

Ia mungkin pernah memimpin organisasi kemahasiswaan, membangun karier birokrasi dari bawah, atau mengadvokasi kepentingan rakyat melalui gerakan sosial.

Di situ, ia belajar tentang empati, ketegasan, komunikasi, serta daya tahan menghadapi tekanan.

Kepemimpinan yang disiapkan bukan hanya soal kapasitas teknis, tapi juga kematangan emosional dan kedewasaan berpikir.

Pemimpin seperti ini tidak datang untuk mewarisi kekuasaan, tetapi untuk mengabdi melalui visi dan gagasan. Ia tidak ditopang oleh nama keluarga, tapi oleh kepercayaan yang tumbuh dari publik secara organik.

Kepemimpinan yang Diberikan

Sebaliknya, kepemimpinan yang “diberikan”—atau dalam istilah yang lebih terang: dinasti politik—adalah model pewarisan kekuasaan berbasis kekerabatan.

Ia bukan lahir dari proses seleksi publik yang sehat, melainkan dari nama belakang yang kebetulan berpengaruh.

Dalam banyak kasus, pemimpin jenis ini minim pengalaman, namun cepat naik karena kendaraan politiknya disiapkan sejak awal. Ia dibesarkan bukan di medan perjuangan, tetapi di ruang nyaman penuh privilege.

Tentu, tidak semua pewaris dinasti politik tidak cakap. Ada juga yang cerdas dan visioner. Namun, dalam sistem demokrasi yang menjunjung prinsip equal opportunity, warisan kekuasaan tetap menjadi persoalan serius. Ia menciptakan ketimpangan akses dan mematikan semangat regenerasi.

Demokrasi dan Ancaman Politik Dinasti

Kehadiran dinasti politik dalam sistem demokrasi adalah kontradiksi. Demokrasi menuntut pertarungan ide dan kapasitas; dinasti menawarkan kenyamanan dan kemudahan tanpa uji kompetensi yang ketat.

Demokrasi membuka jalan bagi siapa pun; dinasti menyempitkannya hanya untuk mereka yang “berdarah biru”.

Ilustrasi Dinasti Politik

Lebih jauh, dinasti politik menghambat mobilitas sosial. Anak petani, nelayan, guru, atau aktivis yang kompeten bisa saja tersingkir hanya karena tak punya jaringan keluarga dalam politik.

Sistem yang seperti ini hanya akan melahirkan apatisme publik dan melemahkan partisipasi politik warga.

Menyiapkan Pemimpin, Bukan Memberikan Jabatan

Dalam membangun bangsa, kita butuh lebih banyak pemimpin yang disiapkan—bukan yang diberikan.

Kita butuh mereka yang datang dengan bekal nilai, bukan sekadar nama. Kita perlu mereka yang hadir dengan kemampuan, bukan karena pertautan kekerabatan atau hubungan darah.

Kepemimpinan: Disiapkan atau Diwariskan?

Kita perlu menciptakan ekosistem politik yang mendorong pendidikan kepemimpinan, pelatihan kader, dan ruang belajar bagi calon-calon pemimpin muda. Bukan sistem yang terus-menerus dikuasai elite politik yang saling mewariskan kekuasaan, seolah jabatan publik adalah harta keluarga.

Akhirnya, pertanyaan mendasarnya adalah apakah kita ingin dipimpin oleh mereka yang disiapkan untuk mengabdi, atau mereka yang diberikan kekuasaan sebagai warisan?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah demokrasi kita ke depan—menuju kematangan atau kemunduran.

Karena pada akhirnya, pemimpin sejati bukan semata dilahirkan oleh garis keturunan, tetapi yang lahir oleh perjalanan panjang integritas dan dedikasi tanpa batas. (*)

1 KOMENTAR

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *