AsriTadda.com
 

Menimbang Parpol Lokal Pasca Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) No.135/PUU-XXII/2024 yang menegaskan pemisahan antara Pemilu Nasional (DPR, DPD, Pilpres) dan Pemilu Daerah (DPRD, Pilkada) bisa disebut sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Ilustrasi bendera Partai Politik

Bagi banyak pengamat, pemisahan ini bukan sekadar soal teknis pemilu. Ia menyentuh jantung desain demokrasi kita, yakni bagaimana membedakan secara jelas urusan nasional dengan urusan daerah.

Dalam konteks inilah, ide tentang Partai Politik Lokal kembali menemukan relevansinya. (Saya sudah pernah menulis gagasan awal tentang Parpol Lokal ini pada Agustus 2018 lalu di sini).

Gagasan sederhananya begini.

Parpol Nasional hanya bertugas di arena nasional, yakni pemilihan anggota DPR, DPD, dan Pilpres. Sedangkan Parpol Lokal—yang berbasis provinsi—berkiprah di arena daerah, mengikuti Pileg DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta Pilkada yang dilakukan melalui DPRD.

Dengan skema ini, politik nasional dan politik daerah tidak lagi saling menegasikan, melainkan saling melengkapi. Pusat tetap punya kanal representasi lewat parpol nasional, sementara daerah punya ruang artikulasi yang lebih otentik lewat parpol lokal.

Mengapa Berbasis Provinsi?

Ada alasan logis mengapa parpol lokal sebaiknya berbasis provinsi, bukan kabupaten dan kota. Basis provinsi memastikan konsistensi dengan sistem negara kesatuan, memperkuat kesinambungan representasi politik dari kabupaten/kota ke provinsi, sekaligus mencegah lahirnya ratusan parpol kecil tanpa basis yang jelas.

Selain itu, parpol lokal berbasis provinsi akan lebih mudah diatur secara hukum, karena posisinya sejajar dengan parpol nasional yang juga berbasis pusat. Regulasi jadi lebih sederhana, tanpa harus membuat aturan berlapis hingga tingkat kabupaten/kota.

Threshold Sama, Standar Sama

Satu hal yang krusial, bahwa ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk parpol lokal sebaiknya sama dengan parpol nasional. Dengan begitu, kualitas representasi terjaga dan tidak ada standar ganda.

Konsekuensinya, hanya parpol lokal dengan basis dukungan riil yang bisa bertahan. Fragmentasi politik bisa ditekan, dan DPRD diisi kader-kader yang kredibel.

Memang akan ada risiko aspirasi kelompok kecil terpinggirkan, tetapi itu bisa diakomodasi lewat fraksi gabungan atau mekanisme lain yang lebih inklusif.

Pilkada via DPRD: Hemat dan Efisien

Putusan MK juga membuka ruang untuk menghidupkan kembali gagasan Pilkada lewat DPRD—sejalan dengan wacana Presiden Prabowo.

Jika Pilkada tidak lagi langsung, tetapi lewat DPRD, maka biaya politik akan jauh lebih rendah, pertarungan politik jadi lebih rasional dan fungsi DPRD semakin strategis, karena tidak hanya legislasi dan pengawasan, tapi juga memilih kepala daerah.

Di sinilah peran parpol lokal jadi sangat vital. Mereka bukan hanya mengisi kursi DPRD, tapi juga jadi penentu lahirnya kepemimpinan daerah.

Untuk menjaga konsistensi, parpol lokal tidak boleh berkoalisi dengan parpol nasional. Keduanya harus dipisahkan tegas. Parpol nasional fokus di pusat, sedangkan Parpol lokal fokus di daerah.

Tidak boleh ada afiliasi ganda, tidak boleh ada “cabang” parpol nasional yang menjelma parpol lokal, dan tidak boleh ada koalisi lintas level.

Dengan begitu, parpol lokal benar-benar menjadi kanal representasi murni bagi aspirasi daerah, tanpa intervensi elite pusat.

Belajar dari Aceh

Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki satu contoh implementasi parpol lokal, yaitu di Aceh. Sistem ini lahir dari MoU Helsinki 2005 dan kemudian diatur dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Parpol Lokal di Aceh

Beberapa poin penting yang bisa kita pelajari dari model Aceh antara lain (1) Parpol lokal hanya boleh berbasis provinsi; (2) Parpol lokal bisa ikut Pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota; (3) Parpol lokal bisa mengusung calon gubernur, bupati, dan wali kota, serta (4) Parpol lokal tidak bisa ikut Pemilu Nasional (DPR, DPD, Pilpres).

Sejumlah parpol lokal lahir di Aceh, seperti Partai Aceh (PA), PNA, SIRA, dan PDA. Pada awalnya, terutama Pemilu 2009, Partai Aceh mendominasi. Namun seiring waktu, fragmentasi internal dan persaingan antarelite membuat dominasinya berkurang.

Jika dirunut, maka ada beberapa pelajaran menarik dari Aceh:

  • Parpol lokal efektif sebagai kanal damai bagi eks kombatan dan aspirasi daerah.
  • Fragmentasi bisa muncul jika regulasi terlalu longgar.
  • Elite capture berpotensi tinggi jika kaderisasi tidak diperkuat.
  • Politik uang tetap menjadi problem, sama seperti parpol nasional.

Model Aceh vs Model Nasional Pasca Putusan MK

Jika kita bandingkan, ada persamaan dan perbedaan yang jelas antara Parpol lokal model Aceh dengan model nasional pasca keputusan MK.

Aspek Model Aceh Model Nasional Pasca Putusan MK
Basis Parpol Lokal Provinsi (hanya Aceh) Provinsi (seluruh Indonesia)
Arena Pemilu DPRD provinsi, DPRD kab/kota, Pilkada Aceh DPRD provinsi, DPRD kab/kota, Pilkada via DPRD
Keterlibatan di Pemilu Nasional Tidak boleh Tidak boleh
Koalisi dengan Parpol Nasional Masih terbuka secara informal Dilarang tegas
Alasan Lahir MoU Helsinki (konflik & perdamaian) Reformasi sistem demokrasi (putusan MK)

Dari tabel di atas terlihat bahwa Aceh menjadi prototipe. Bedanya, parpol lokal di Aceh lahir karena kebutuhan khusus pasca-konflik, sedangkan wacana pasca Putusan MK lahir dari kebutuhan untuk merapikan desain demokrasi.

Antara Harapan dan Tantangan

Model demokrasi baru ini menawarkan banyak keunggulan, diantaranya:

  • Lebih efisien, karena tidak ada lagi pemilu serentak super jumbo.
  • Lebih sehat, karena parpol dipaksa serius melakukan kaderisasi.
  • Lebih adem, karena jeda 2–3 tahun antara pemilu nasional dan daerah menurunkan tensi politik.
  • Lebih otentik, karena isu-isu daerah bisa diperjuangkan lewat kanal politik lokal.

Namun, tantangan juga tidak kecil, seperti:

  • Risiko transaksionalisme dalam pemilihan kepala daerah via DPRD.
  • Potensi kartelisasi elite lokal jika regulasi longgar.
  • Kemungkinan lahirnya dualisme kepentingan antara pusat dan daerah.

Karena itu, regulasi mengenai Parpol lokal ini harus disusun ketat, komprehensif, dan dijaga konsistensinya.

Parpol Lokal

Penutup

Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024 memberi Indonesia kesempatan langka untuk meredesain sistem politik dan kepartaian.

Jika momentum ini dimanfaatkan dengan cerdas, Indonesia bisa melahirkan demokrasi dua kanal yang sehat, yakni Parpol Nasional untuk mengurus kepentingan bangsa, dan Parpol Lokal untuk mengurus kepentingan daerah.

Aceh telah membuktikan bahwa parpol lokal bisa berjalan dalam kerangka NKRI. Kini tantangannya adalah bagaimana menjadikan model ini lebih sistematis dan berlaku untuk seluruh Indonesia.

Hemat saya, inilah jalan menuju demokrasi yang lebih efisien, lebih representatif, dan lebih produktif bagi masa depan Indonesia. (*)

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *