AsriTadda.com
 

Mahal di Kursi, Berat di Hati: Beban Kepala Daerah Terpilih Usai Pilkada Langsung

PILKADA LANGSUNG telah menjadi instrumen utama dalam demokrasi lokal Indonesia sejak 2005. Dengan memberikan hak langsung kepada rakyat untuk memilih pemimpinnya, sistem ini diharapkan memperkuat legitimasi pemerintahan daerah dan mempercepat pembangunan berbasis aspirasi rakyat.

Ilustrasi Beban Politik Kepala Daerah Terpilih

Namun, dua dekade pelaksanaannya memperlihatkan sejumlah persoalan yang kini justru menambah beban kepala daerah terpilih. Pilkada langsung, alih-alih menjadikan kepala daerah lebih kuat, justru menciptakan tantangan struktural, politis, dan teknokratis yang kompleks dan berlapis.

Setiap calon kepala daerah datang ke arena Pilkada membawa visi dan janji kampanye yang tinggi, paling tidak pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan publik, pengentasan kemiskinan, dan sebagainya. Namun, begitu terpilih dan duduk di kursi pemerintahan, mereka dihadapkan pada kenyataan fiskal yang tidak sesuai dengan ekspektasi.

Kebijakan efisiensi anggaran yang ketat dari pemerintah pusat, keterbatasan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta tekanan belanja rutin seperti gaji pegawai dan belanja wajib lainnya membuat ruang fiskal sangat terbatas.

Program-program unggulan yang dijanjikan pada masa kampanye sering kali harus ditunda atau dikompromikan karena tidak adanya alokasi anggaran yang cukup.

Situasi ini semakin sulit dengan realitas bahwa pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2025 akan dilakukan setelah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2026 telah lebih dulu ditetapkan oleh DPRD.

Ini berarti kepala daerah baru tidak memiliki ruang kebijakan fiskal pada tahun pertamanya untuk menjalankan visi-misi mereka, karena APBD tersebut disusun tanpa keterlibatan mereka secara substantif.

Biaya dan Beban Politik

Masalah lain yang tak kalah krusial adalah biaya politik yang sangat tinggi dalam Pilkada langsung. Mulai dari ongkos pencalonan, kampanye, logistik, hingga “operasi senyap” yang kerap terjadi di belakang layar.

BACA:  Propinsi Tana Luwu, Kenapa (Baru) Digaungkan Lagi?

Tak jarang, calon kepala daerah harus merogoh kantong pribadi dalam jumlah miliaran rupiah, atau bahkan mencari sokongan dari para pemodal dan pemilik kepentingan tertentu.

Begitu terpilih, beban psikologis dan politis pun muncul: bagaimana mengembalikan semua dana yang telah dikeluarkan? Dalam kondisi fiskal yang terbatas dan tekanan publik yang tinggi, godaan untuk melakukan kompromi terhadap integritas bisa semakin besar.

Tak sedikit kasus korupsi di daerah berawal dari upaya kepala daerah mengembalikan “modal politik” yang telah digelontorkan selama proses Pilkada.

Selain itu, kepala daerah juga harus menghadapi beban politik yang tidak kalah berat. Dalam sistem Pilkada langsung, pasangan calon terdiri dari kepala daerah dan wakil kepala daerah. Masing-masing seringkali membawa tim sukses sendiri, dengan jaringan relawan, donatur, hingga tokoh politik yang berbeda kepentingan dan latar belakang.

Setelah kemenangan diraih, potensi konflik antar-tim sukses mulai muncul. Masing-masing merasa berhak atas “jatah” dalam kekuasaan, baik berupa jabatan struktural di pemerintahan, proyek-proyek strategis, maupun akses terhadap sumber daya daerah.

BACA:  Jangan Adzan Sebelum Masuk Waktu Shalat!

Ketegangan ini bisa semakin rumit apabila kepala daerah dan wakilnya berasal dari partai politik atau kelompok kepentingan yang tidak harmonis sejak awal.

Parpol pengusung pun tidak tinggal diam. Sebagai bagian dari koalisi pemenangan, mereka turut menuntut “posisi tawar” dalam penyusunan kabinet daerah maupun dalam distribusi proyek dan program.

Kepala daerah terpilih akhirnya berada di tengah tarik-menarik kepentingan: antara idealisme untuk menjalankan pemerintahan yang profesional dan tekanan politik dari para pendukungnya sendiri.

Jika tak pandai mengelola dinamika ini, kepala daerah bisa kehilangan kontrol terhadap jalannya pemerintahan. Pemerintahan menjadi tidak stabil, kebijakan mudah berubah karena tekanan internal, dan orientasi pelayanan publik pun tersisih oleh kepentingan pragmatis kelompok-kelompok yang merasa berjasa dalam pemenangan.

Menimbang Kembali Pilkada via DPRD

Melihat kompleksitas beban yang dihadapi oleh kepala daerah hasil Pilkada langsung, sudah waktunya publik dan pembuat kebijakan menimbang ulang sistem ini.

Bukan dalam rangka membatalkan demokrasi, melainkan memperkuat efektivitasnya dalam konteks lokal Indonesia yang sangat beragam dan masih rawan praktik transaksional.

Pilkada melalui DPRD bisa menjadi alternatif yang layak dipertimbangkan. Sistem ini dapat memangkas biaya politik yang sangat tinggi dalam Pilkada langsung.

Kepala daerah yang terpilih lewat DPRD juga tidak perlu mengakomodasi terlalu banyak kepentingan tim sukses atau koalisi besar yang tidak selalu harmonis. Hubungan antara eksekutif dan legislatif bisa dibangun sejak awal melalui proses politik yang lebih rasional dan proporsional.

BACA:  Inilah ‘8 Konsep Sehat’ Danny – Azhar untuk Selamatkan Sulsel

Tentu, sistem ini pun bukan tanpa kelemahan. Potensi oligarki dan politik uang di internal DPRD tetap menjadi tantangan. Namun, dengan penguatan regulasi, keterlibatan publik yang lebih besar dalam pengawasan, serta perbaikan sistem rekrutmen partai politik, risiko tersebut bisa ditekan.

***

Pilkada langsung telah memberi banyak pelajaran penting bagi demokrasi kita. Namun, realitas politik dan pemerintahan di daerah menunjukkan bahwa sistem ini tidak selalu kompatibel dengan tantangan struktural yang dihadapi kepala daerah terpilih.

Beban fiskal, biaya politik yang tinggi, konflik tim sukses, intervensi partai politik, serta keterbatasan ruang fiskal hanya akan menjauhkan pemerintah daerah dari orientasi pelayanan publik.

Sudah saatnya kita membuka ruang diskusi yang jujur dan rasional tentang sistem pemilihan kepala daerah yang paling sesuai untuk masa depan demokrasi lokal.

Pilkada melalui DPRD, jika dirancang dengan akuntabilitas yang kuat dan partisipasi publik yang memadai, dapat menjadi opsi yang lebih realistis, efisien, dan stabil untuk menjawab tantangan pemerintahan daerah di Indonesia. (*)

Makassar, 19 April 2025

Asri Tadda (Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan)

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *