AsriTadda.com
 

Desentralisasi yang Salah Arah: Ketika Pendidikan dan Kesehatan Jadi Korban Politik Pilkada

Sekolah rusak dan puskesmas tanpa dokter bukan hanya soal anggaran. Di balik ketimpangan layanan dasar antar daerah, tersimpan masalah lebih dalam, yakni intervensi politik yang menggerogoti fondasi hak dasar warga negara.

Ilustrasi Sekolah Rusak

Saat ini, kita mungkin perlu jujur mengakui bahwa sistem desentralisasi di Indonesia, khususnya terkait pengelolaan sektor kesehatan dan pendidikan, menyisakan persoalan serius yang belum juga teratasi sejak lebih dari dua dekade pascareformasi.

Kedua sektor vital yang menjadi hak dasar warga negara ini justru kerap menjadi korban kepentingan politik lokal, terutama dalam konteks Pilkada langsung yang sejak awal diharapkan menjadi instrumen demokrasi partisipatif, namun di sejumlah daerah malah berbalik menjadi sumber instabilitas kebijakan publik.

Sejak diberlakukannya sistem otonomi daerah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah memiliki kewenangan luas dalam mengatur urusan pemerintahan di wilayahnya masing-masing, termasuk di sektor pendidikan dan kesehatan.

Di satu sisi, kebijakan ini memang membawa warna baru bagi demokrasi lokal dan membuka ruang kreativitas pembangunan sesuai kebutuhan daerah. Namun di sisi lain, desentralisasi ini ternyata membuka celah bagi intervensi politik yang berdampak langsung terhadap kualitas pelayanan dasar masyarakat.

Politik Lokal dan Instabilitas Kebijakan

Tak bisa dimungkiri, pelayanan kesehatan dan pendidikan di daerah sangat bergantung pada political will kepala daerah yang sedang berkuasa.

Pergantian pemimpin di tingkat lokal hampir selalu diikuti dengan perubahan arah kebijakan, penyesuaian program, hingga rotasi pejabat teknis yang kerap kali dilakukan atas dasar pertimbangan politik ketimbang profesionalitas. Akibatnya, keberlanjutan program strategis di sektor ini menjadi rapuh dan mudah terganggu.

Laporan Indonesia Governance Index (IGI) 2022, yang dirilis oleh Kemitraan (Partnership for Governance Reform), menunjukkan bahwa sektor pendidikan dan kesehatan menjadi dua urusan paling rentan terhadap perubahan kebijakan di tingkat daerah.

Data tersebut mengungkapkan bahwa lebih dari 63% kepala daerah di Indonesia tercatat mengganti pejabat dinas pendidikan dan kesehatan dalam dua tahun pertama masa jabatannya. Pergantian ini, ironisnya, bukan karena alasan evaluasi kinerja berbasis indikator pelayanan, melainkan lebih didorong faktor loyalitas politik dan kepentingan balas jasa politik pasca-Pilkada.

Ketimpangan Layanan Antar Daerah

Konsekuensi dari kondisi tersebut adalah terjadinya ketimpangan layanan dasar antar daerah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat bahwa rata-rata Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) di Indonesia sebesar 13,1 tahun.

Namun, jika dirinci per provinsi, terdapat selisih yang cukup mencolok antara DKI Jakarta dengan 13,6 tahun, dan Papua yang hanya 10,0 tahun. Demikian pula dalam hal layanan kesehatan. Rasio dokter umum per 100.000 penduduk di Jakarta mencapai 38 orang, sementara di Sulawesi Barat hanya 6 orang.

Ketimpangan ini tentu bukan semata soal kapasitas fiskal daerah. Banyak penelitian menunjukkan bahwa problem utamanya adalah soal prioritas politik kepala daerah.

Kajian Kementerian Dalam Negeri tahun 2021 menyebutkan bahwa sebagian besar kepala daerah lebih memilih membangun proyek-proyek monumental seperti city walk, stadion, atau ikon pariwisata yang mudah terlihat publik dan memberi nilai pencitraan politik instan, ketimbang memperbaiki layanan dasar pendidikan dan kesehatan yang meskipun dampaknya strategis, tetapi sifatnya jangka panjang dan kurang “menjual” secara politik.

Saatnya Resentralisasi

Melihat realitas ini, sudah saatnya negara hadir secara penuh. Saya berpendapat bahwa pengelolaan sektor kesehatan dan pendidikan sebaiknya dikembalikan ke pemerintah pusat.

Setidaknya, dua urusan ini harus diposisikan sebagai central government functions dengan standar nasional yang merata di seluruh Indonesia, tanpa dipengaruhi kepentingan politik lokal yang bersifat temporer dan seringkali pragmatis.

Langkah ini bukan berarti mencabut otonomi daerah secara keseluruhan, melainkan melakukan restrukturisasi kewenangan. Pemerintah pusat bisa mengambil alih perencanaan program, penganggaran, distribusi tenaga medis dan guru, serta pembangunan fasilitas strategis.

Sementara pemerintah daerah tetap berperan sebagai pelaksana teknis di lapangan, sebagaimana konsep deconcentration within decentralization yang banyak diterapkan di negara-negara maju.

Beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan bisa menjadi contoh rujukan yang relevan. Meski menerapkan desentralisasi administratif, kedua negara ini tetap menempatkan sektor pendidikan dan kesehatan di bawah kendali pemerintah pusat.

Di Jepang, misalnya, semua sekolah negeri dikelola dengan standar nasional oleh Kementerian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi (MEXT), sementara pemerintah prefektur hanya bertugas sebagai pelaksana administratif di wilayah masing-masing. Hasilnya, standar layanan pendidikan bisa terjaga merata, mulai dari Tokyo hingga Hokkaido.

Begitu pula di Korea Selatan, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan memiliki kewenangan penuh dalam merancang sistem pelayanan kesehatan, menentukan distribusi tenaga medis, hingga menetapkan standar rumah sakit.

Intervensi politik lokal hampir nihil karena pengangkatan pejabat strategis di bidang kesehatan dilakukan melalui mekanisme nasional berbasis kompetensi dan rekam jejak.

Amankan Hak Dasar Warga Negara

Kesehatan dan pendidikan bukanlah komoditas politik. Keduanya adalah hak dasar warga negara yang wajib dijamin oleh negara tanpa diskriminasi lokasi geografis, kondisi fiskal daerah, ataupun kepentingan politik kepala daerah. Pasal 31 dan 34 UUD 1945 menegaskan kewajiban negara dalam menyelenggarakan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas.

Negara harus hadir secara kuat untuk memastikan bahwa anak-anak di pelosok Papua, pesisir Sulawesi, pedalaman Kalimantan, hingga perkotaan di Jawa, mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang sama baiknya, dengan standar nasional yang objektif dan berkeadilan.

Jika bangsa ini ingin maju, tak ada jalan lain selain membebaskan layanan kesehatan dan pendidikan dari intervensi politik lokal. Saatnya pemerintah pusat mengambil kembali kewenangan pengelolaan dua sektor ini, menyusunnya dalam sistem yang seragam, objektif, dan terukur secara nasional.

Penguatan peran pusat dalam dua sektor ini bukan sekadar solusi teknokratis, melainkan kebutuhan strategis untuk menjamin masa depan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik, sehat, cerdas, dan berdaya saing.

Sebagaimana kata Bung Hatta, “Kesejahteraan rakyat bukanlah hasil dari politik pencitraan, tetapi dari kerja keras sistematis yang berpihak pada rakyat.” Sudah saatnya kita mewujudkan itu. (*)

*) Artikel ini juga telah terbit di TribunTimur

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *