AsriTadda.com
 

Urgensi Penetapan Standar Toilet dan Ruang Ibadah di Fasilitas Publik

DI NEGARA dengan populasi mayoritas muslim seperti Indonesia, keberadaan fasilitas publik seperti toilet dan ruang ibadah di tempat-tempat umum merupakan kebutuhan fundamental yang tidak bisa ditawar.

Toilet Umum di salah satu Rest Area (Foto: IST)

Sayangnya, hingga hari ini, standar penyediaan kedua fasilitas tersebut masih sangat beragam, minim regulasi teknis yang tegas, dan seringkali jauh dari kata ideal.

Padahal, keduanya berkaitan langsung dengan pemenuhan hak dasar warga negara, yakni hak atas kesehatan lingkungan dan hak untuk menjalankan ibadah.

Tidak sedikit orang yang harus menahan hasrat ingin buang air, atau terpaksa menunda shalat hanya karena fasilitas yang tidak memadai di fasilitas publik yang dikunjunginya. Kedua hal ini, tentu tidak baik untuk kesehatan.

Hak Masyarakat, Tanggung Jawab Pemerintah

Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28H ayat (1) menegaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Fasilitas toilet yang bersih dan nyaman di ruang publik jelas menjadi bagian dari upaya memenuhi hak tersebut.

Di sisi lain, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Artinya, penyediaan ruang ibadah di ruang publik bukan sekadar opsi, melainkan kewajiban negara untuk memfasilitasi.

Sayangnya, kenyataan di lapangan masih menunjukkan fakta sebaliknya. Survei yang dilakukan Asosiasi Toilet Indonesia (ATI) tahun 2023 menyebutkan bahwa hanya 35% toilet publik di kota besar di Indonesia yang memenuhi standar kebersihan, kenyamanan, dan kelayakan. Sisanya menghadapi persoalan seperti minimnya air bersih, ventilasi buruk, sanitasi tidak terawat, hingga ketidaktersediaan toilet ramah disabilitas.

Di sisi lain, banyak ruang publik seperti pusat perbelanjaan, terminal, dan restoran yang belum menyediakan ruang ibadah yang layak. Kalaupun ada, ukurannya sangat sempit, ventilasi buruk, minim fasilitas wudhu, dan tidak proporsional dengan kapasitas pengunjung.

Standar Internasional dan Nasional

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan minimal 1 toilet per 25 wanita, 1 toilet per 50 pria, dan 1 urinoir per 25 pria, lengkap dengan toilet untuk penyandang disabilitas. WHO juga menyarankan proporsi luas toilet minimal 2–3% dari total luas bangunan.

Demikian pula dalam hal ruang ibadah, meskipun belum ada standar kuantitatif internasional, prinsipnya adalah proporsional dan layak sesuai dengan kebutuhan mayoritas masyarakat di wilayah tersebut.

Sebagai gambaran awal, Kementerian Perumahan dan Pemerintah Daerah Malaysia dalam Garis Panduan Penyediaan Kemudahan Awam di Kawasan Pembangunan menyarankan agar area musala minimal 1,5–2% dari total ruang layanan publik pada gedung komersial.

Sementara dalam dokumen Design Guideline for Mosque and Musalla in Public Places dari Dubai Municipality (2020), luas ruang ibadah minimal dihitung berdasarkan kapasitas parkir dan pengunjung, dengan asumsi 5–10% dari kapasitas ruang layanan umum aktif yang akan menggunakan musala di waktu shalat.

Di tingkat nasional, Kementerian PUPR telah menerbitkan Peraturan Menteri PUPR Nomor 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung, yang salah satunya mengatur ketentuan teknis ruang toilet dan aksesibilitas. Namun sayangnya, belum ada ketentuan serupa secara tegas yang mewajibkan ruang ibadah di ruang publik non-keagamaan.

Musholla di Mall

Urgensi Penetapan Standar di Tingkat Daerah

Karena ragam fungsi ruang publik di daerah sangat beragam, penetapan standar minimum dan proporsionalitas fasilitas toilet serta ruang ibadah seyogianya bisa diatur lebih rinci dalam Peraturan Daerah (Perda).

Pemerintah daerah memiliki kewenangan otonom dalam aspek perizinan dan pengawasan ruang publik. Maka idealnya, izin operasional ruang usaha atau gedung publik hanya diberikan jika telah memenuhi standar minimal toilet dan ruang ibadah yang proporsional terhadap kapasitas pengunjung dan luas bangunan.

Misalnya, pusat perbelanjaan berkapasitas lebih dari 500 orang, wajib menyediakan minimal 4 toilet wanita, 2 toilet pria, 2 urinoir, 1 toilet difabel, serta 1 musala yang dapat menampung minimal 30% kapasitas pengunjung saat waktu salat.

Beberapa studi kawasan dan pedoman desain ruang publik di negara-negara mayoritas muslim menyarankan proporsi ruang ibadah paling minimal 2% dari total luas area layanan publik, untuk memastikan daya tampung yang memadai saat waktu shalat.

Ketentuan-ketentuan serupa ini seharusnya menjadi prasyarat mutlak dalam setiap perizinan pembangunan dan operasional.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Ketersediaan toilet dan ruang ibadah yang layak juga berdampak langsung terhadap peningkatan kenyamanan pengunjung, memperpanjang waktu kunjungan, dan menaikkan nilai bisnis sebuah kawasan.

Survei APINDO 2022 menyebutkan bahwa 62% pengunjung mall dan pusat perbelanjaan lebih memilih lokasi dengan fasilitas toilet dan musala yang bersih dan nyaman. Artinya, investasi pada fasilitas dasar ini tidak hanya soal pelayanan publik, tapi juga bagian dari strategi bisnis yang cerdas.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, menetapkan standar baku tentang penyediaan toilet dan ruang ibadah yang layak, bersih, dan proporsional di tempat umum.

Penyusunan Peraturan Daerah tentang Standar Fasilitas Umum wajib menjadi prioritas guna menjamin hak warga atas kesehatan lingkungan dan kebebasan beribadah, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan publik dan daya saing kawasan bisnis.

Seperti kata pepatah, peradaban sebuah bangsa bisa dinilai dari bagaimana mereka memperlakukan toilet dan tempat ibadahnya. Indonesia harusnya bisa lebih baik lagi di masa mendatang. (*)

*Artikel ini juga telah terbit di Koran Fajar edisi Kamis, 10 Juli 2025.

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *