AsriTadda.com
 

Sekolah Unggulan Tak Akan Cukup Tanpa Guru Unggulan

INDONESIA tengah memimpikan lahirnya Generasi Emas 2045 — generasi unggul, produktif, berkarakter, dan mampu bersaing secara global. Berbagai kebijakan pun telah dicanangkan, dari pembangunan sekolah unggulan hingga digitalisasi pendidikan.

Generasi Emas Indonesia 2045

Namun, satu aspek fundamental masih luput dari perhatian serius: kualitas guru. Padahal, guru adalah poros utama dalam sistem pendidikan. Tanpa guru yang unggul, harapan mencetak generasi emas akan menjadi sekadar retorika belaka.

Salah satu problem mendasar dalam dunia pendidikan kita adalah menurunnya daya tarik profesi guru di mata generasi muda.

Berdasarkan data Pusat Data dan Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Pusdatin Kemendikbud) tahun 2023, hanya sekitar 8,6% lulusan SMA/SMK yang menjadikan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sebagai pilihan utama dalam Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB).

Sebaliknya, mayoritas siswa terbaik lebih memilih program studi kedokteran, teknik, manajemen, dan teknologi informasi.

Lebih jauh lagi, Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) mencatat bahwa rerata nilai UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) peserta yang diterima di jurusan pendidikan guru, khususnya Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), lebih rendah dibandingkan jurusan sains dan teknologi lainnya.

Semua hal ini menandakan bahwa input calon guru masih jauh dari kategori unggul, padahal mereka akan menjadi penentu mutu generasi berikutnya.

Realita di Lapangan: Guru dalam Tekanan

Profesi guru saat ini masih dihadapkan pada berbagai tantangan struktural. Berdasarkan laporan Indeks Profesionalitas ASN (BKN, 2022), mayoritas guru di Indonesia masih menghadapi persoalan terkait kesejahteraan, beban administrasi, serta minimnya akses pelatihan berkualitas.

Bahkan hingga kini, lebih dari 60% guru di Indonesia belum berstatus ASN (aparatur sipil negara), yang berarti mereka tidak memiliki jaminan kesejahteraan dan jenjang karier yang layak.

Bahkan dari sisi distribusi, guru berkualitas cenderung terkonsentrasi di kota-kota besar. Laporan World Bank (2020) menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam pemerataan guru kompeten antara wilayah barat dan timur Indonesia.

Di wilayah Papua, NTT, dan Maluku, banyak sekolah masih mengalami kekurangan guru tetap, terutama di jenjang SD dan SMP.

Sekolah Unggulan Tanpa Guru Unggulan?

Kecenderungan pemerintah untuk membentuk sekolah-sekolah unggulan, seperti SMA Negeri unggulan atau sekolah penggerak, tidak akan berdampak signifikan tanpa memastikan bahwa guru-guru yang mengajar di dalamnya benar-benar unggulan pula.

Sekolah Unggulan

Kurikulum Merdeka, misalnya, memberikan ruang bagi kreativitas dan inovasi guru. Namun, jika guru tidak dibekali kapasitas pedagogik dan kompetensi digital yang memadai, kurikulum tersebut hanya akan menjadi dokumen tanpa makna di lapangan.

Sebagai perbandingan, di negara seperti Finlandia, hanya 10% lulusan terbaik dari SMA yang dapat masuk ke jurusan pendidikan guru.

Proses seleksi ketat, pelatihan intensif, serta dukungan negara terhadap karier guru menjadikan profesi ini sangat prestisius.

Bahkan, dalam survei OECD (2018), guru di Finlandia dianggap memiliki status sosial setara dengan dokter dan pengacara. Ini berbanding terbalik dengan kondisi di Indonesia.

Membangun Ekosistem Guru Unggulan

Diperlukan perubahan radikal dalam sistem rekrutmen, pendidikan, dan pengembangan karier guru di Indonesia. Tidak cukup hanya mengandalkan sertifikasi dan pelatihan periodik.

Ilustrasi Guru

Pemerintah perlu mendesain ulang ekosistem yang menciptakan insentif dan motivasi tinggi bagi generasi muda terbaik untuk menjadi guru.

Beberapa langkah strategis yang dapat dipertimbangkan antara lain adalah memberikan beasiswa penuh untuk calon guru terbaik, khususnya mereka yang berasal dari sekolah unggulan atau ranking teratas nasional, dan membuka program afirmasi dan fast track untuk menjadi guru ASN bagi lulusan berprestasi dari LPTK ternama.

Selain itu, kurikulum pendidikan guru juga sudah harus adaptif, berbasis teknologi, penguatan karakter, dan pendidikan lintas disiplin, diperkuat dengan skema karier guru yang fleksibel dan progresif, termasuk peluang riset, studi lanjut ke luar negeri, serta penghargaan prestasi berbasis kinerja.

Yang tak kalah penting adalah digitalisasi sistem pengembangan profesi, seperti platform pelatihan daring berbasis microcredential dan artificial intelligence.

Jika bangsa ini serius ingin mencetak generasi emas Indonesia 2045, maka investasi utama harus dimulai dari guru. Tidak ada transformasi pendidikan yang berhasil tanpa transformasi profesi guru.

Sekolah unggulan tidak akan melahirkan murid unggulan tanpa guru yang unggul secara akademik, visioner secara pedagogik, dan sejahtera secara ekonomi.

Kini saatnya mengembalikan martabat guru ke tempat terhormat. Sebab sebagaimana dikatakan Ki Hajar Dewantara, “Guru itu bukan sekadar pengajar, tetapi pembimbing hidup.” Dan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menjadikan guru sebagai profesi dambaan dan harapan. (*)

*Artikel ini juga telah terbit di koran Fajar edisi Jumat (20/6/2025).

BERI TANGGAPAN

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *