SETIAP lima tahun, rakyat Indonesia di ratusan daerah kembali ke bilik suara untuk memilih kepala daerahnya secara langsung. Pilkada langsung telah menjadi simbol utama demokratisasi pasca-reformasi.
Namun, di balik kemeriahan itu, ada persoalan besar yang jarang dibicarakan: apakah semua daerah benar-benar mampu menyelenggarakan Pilkada langsung secara layak dan bertanggung jawab secara fiskal?
Data menunjukkan bahwa biaya penyelenggaraan Pilkada tidak murah. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut anggaran Pilkada Serentak 2024 mencapai Rp 27 triliun.
Seluruh biaya ini dibebankan ke APBD. Artinya, satu daerah bisa mengalokasikan Rp 40 hingga 100 miliar hanya untuk sekali Pilkada.
Di sisi lain, sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa rata-rata Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten/kota di Indonesia masih di bawah Rp 1 triliun. Bahkan, tak sedikit daerah yang PAD-nya hanya berkisar Rp 300–500 miliar.
Jika biaya Pilkada mencapai Rp 60 miliar, dan PAD daerah hanya Rp 500 miliar, berarti lebih dari 10 persen PAD harus digunakan hanya untuk membiayai proses elektoral.
Ini belum termasuk belanja wajib seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Situasi ini tentu tidak sehat secara fiskal, dan bahkan bisa menggerus kualitas layanan publik.
Rasionalisasi Anggaran Maksimal
Dalam kerangka belanja APBD, pemerintah daerah memiliki kewajiban mengalokasikan minimal 20 persen untuk pendidikan dan 10 persen untuk kesehatan. Selain itu, ada belanja pegawai, operasional, serta pembangunan infrastruktur dasar.
Dari sini, ruang fiskal untuk belanja diskresi sangat terbatas, hanya sekitar 10–15 persen PAD. Maka, logis jika biaya Pilkada tidak boleh melebihi 3 persen dari PAD.
Angka ini tidak dibuat-buat. Simulasi menunjukkan bahwa daerah dengan PAD Rp 3 triliun yang menyelenggarakan Pilkada seharga Rp 60 miliar berarti mengalokasikan hanya 2 persen PAD.
Sebaliknya, jika PAD hanya Rp 1 triliun, biaya Pilkada yang sama menggerus hingga 6 persen. Ini menjadi beban besar bagi anggaran daerah dan rawan mengorbankan belanja strategis lainnya.
Bila kita ingin demokrasi yang bertanggung jawab secara fiskal, maka penyelenggaraan Pilkada langsung seharusnya dipertimbangkan hanya untuk daerah dengan PAD yang memadai. Batas minimal PAD Rp 2 triliun bisa menjadi tolok ukur rasional.
Belajar dari Negara Lain
Model pemilihan kepala daerah tidak selalu harus bersifat langsung. Di banyak negara, pemilihan langsung dibatasi pada level tertentu.
Di Jerman, misalnya, pemilihan langsung hanya berlaku untuk kota-kota besar. Di Jepang dan Belanda, kepala daerah tingkat lokal diangkat melalui mekanisme parlemen daerah atau oleh pemerintah pusat, dengan pertimbangan efisiensi dan stabilitas anggaran.
Artinya, demokrasi bisa berjalan tanpa harus mahal. Mekanisme pemilihan tidak boleh menjadi beban bagi rakyat. Sebaliknya, ia harus menjadi sarana efektif untuk menghadirkan tata kelola yang bersih, efisien, dan akuntabel.
KPK telah berulang kali mengingatkan bahwa ongkos politik yang tinggi menjadi pintu masuk korupsi. Ketika kepala daerah terpilih harus “mengembalikan modal politik”, maka kebijakan publik pun terdistorsi oleh kepentingan transaksional. Di daerah dengan kapasitas fiskal rendah, risiko ini semakin tinggi.
Pilkada langsung di daerah yang tidak mandiri secara fiskal membuka ruang luas bagi praktik politik uang dan jual-beli jabatan. Demokrasi elektoral yang mahal di daerah miskin pada akhirnya justru menyuburkan oligarki lokal dan menghambat pembangunan.
Menuju Demokrasi yang Rasional
Usulan untuk membatasi Pilkada langsung hanya bagi daerah dengan PAD di atas Rp 2 triliun bukanlah bentuk kemunduran demokrasi. Justru ini adalah upaya untuk mendorong demokrasi yang lebih rasional, efisien, dan sejalan dengan kapasitas fiskal daerah.
Bagi daerah yang belum memenuhi syarat, mekanisme pemilihan oleh DPRD bisa menjadi alternatif sementara yang sah dan konstitusional. Dengan pengawasan ketat dan transparansi, mekanisme ini tetap bisa menghasilkan pemimpin yang berkualitas tanpa membebani anggaran daerah.
Demokrasi bukan semata-mata soal pemilihan langsung. Ia adalah tentang hasil: kesejahteraan rakyat, akuntabilitas pemimpin, dan keberlanjutan pembangunan.
Karena itu, Pilkada langsung tidak harus berlaku seragam di seluruh daerah. Biarlah demokrasi berjalan sesuai daya dukung fiskal masing-masing, agar tidak menjadi beban, melainkan justru solusi bagi kemajuan daerah. []
Asri Tadda (Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan)