Oleh: Asri Tadda (Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulsel)
Polemik akan eksistensi partai politik (Parpol) di negeri ini terus terjadi. Praktek politik uang, kartel politik dan koalisi gemuk yang tidak mencerminkan aspirasi rakyat, kerap dipertontonkan vulgar di depan publik. Perlahan, kepercayaan rakyat kepada Parpol kian menipis.
Padahal peran Parpol dalam dinamika politik begitu dominan. Sayangnya, posisi itu tidak mudah diperankan. Selalu ada saja titik lemah terutama menyangkut posisi dan independensi para petinggi Parpol terhadap rezim yang tengah berkuasa.
Menipisnya kepercayaan rakyat terhadap Parpol, terutama untuk mengawal dan menjembatani aspirasi rakyat, kini tergambar pada besarnya reaksi penolakan atas usulan mengembalikan pemilihan Kepala Daerah ke DPRD, tak perlu lagi Pilkada secara langsung.
Dalam kacamata rakyat, jika Pilkada dilakukan di DPRD, maka Kepala Daerah yang terpilih nantinya boleh jadi adalah hasil kongkalikong elit Parpol, dimana eksekutornya adalah para anggota DPRD yang selalu berada dalam posisi tak berdaya terhadap “keinginan” atau “petunjuk” petinggi Parpolnya.
Faktanya, saat anggota DPR atau DPRD telah duduk di kursinya, jargon sebagai “wakil rakyat” seiring waktu perlahan berubah menjadi “wakil parpol”. Tak jarang, legislator justru berhadap-hadapan langsung dengan kepentingan rakyat.
Di era desentralisasi saat ini, hampir semua keputusan politik, baik di pusat maupun di daerah, justru kembali sangat sentralistik; harus sesuai arahan dan petunjuk dari Jakarta, termasuk siapa yang bisa diusung jadi Kepala Daerah.
Mengamati fenomena ini, saya pribadi jadi gamang. Berharap sistem kepartaian bisa lebih baik, tentu butuh upaya dan waktu yang panjang. Juga belum tentu akan sesuai harapan jika dinamika politik masih tergerus kepentingan oligarki dan pemilik partai.
Saya pernah menulis tentang Pilkada dan Urgensi Parpol Lokal. Desentralisasi dan otonomi daerah, seharusnya juga diikuti oleh desentralisasi politik, termasuk sistem kepartaian. Jadi Pilkada seharusnya jadi urusan Parpol lokal saja, seperti yang saat ini tengah berlaku di Aceh.
Selain tak perlu biaya mahal sebagaimana diperlukan ketika membentuk Parpol skala nasional, model Parpol lokal juga akan membuka ruang yang lebih lebar bagi tokoh-tokoh terbaik di setiap daerah untuk menembus barikade politik sentralistik yang selama ini membatasi ruang gerak mereka.
Parpol lokal juga menjadi angin segar bagi anak-anak muda yang masih idealis. Mereka bisa dengan mudah berkumpul dan membentuk kekuatan politik lokal sendiri, lalu kemudian berkontestasi di Pileg untuk mengisi kursi DPRD setempat. Menarik, bukan?
Yang terbaru, merujuk pada “arahan” Presiden Prabowo Subianto bahwa sebaiknya Pilkada lewat DPRD saja, kegalauan saya jadi bertambah.
Seperti juga kekhawatiran banyak orang, meski Pilkada via DPRD mungkin bisa mencegah ekses dan konflik horizontal antar-warga akibat perbedaan pilihan, namun model ini bisa saja memicu kongkalikong lebih jahat jika kontrol Parpol masih sentralistik seperti saat ini.
Karena itu, sudah harus ada diskursus alternatif bagaimana membuat para anggota DPRD benar-benar bisa berperan menjadi “wakil rakyat”, bukan hanya sebagai “wakil Parpol” di daerah.
Saya kira, sudah saatnya memikirkan alternatif pemilihan anggota DPRD yang tidak melalui jalur Parpol, tetapi perseorangan. Model ini seperti halnya pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Keuntungannya, anggota DPRD Jalur Perseorangan tentu tidak mudah dikatrol secara langsung oleh kepentingan elit pusat. Sehingga jika Pilkada harus dilakukan via DPRD, anggota DPRD Jalur Perseorangan ini tentu akan lebih representatif dan lebih independen dibanding legislator dari Parpol.
Hanya saja, seperti juga ide Parpol Lokal, memilih anggota DPRD Jalur Perseorangan ini tentu tidak mudah, meski juga bukan hal mustahil diwujudkan.
Perlu kesadaran politik yang tinggi, serta dukungan yang kuat terutama dari kalangan Parpol. Pasalnya, untuk mewujudkan ide ini, dibutuhkan amandemen UUD 1945 dan Revisi UU Pemilu.
Dalam Amandemen UUD 1945, perlu disisipkan ketentuan bahwa anggota DPRD dapat dipilih secara langsung melalui jalur perseorangan. Sementara dalam revisi UU Pemilu, perlu disediakan aturan teknis untuk pencalonan anggota DPRD melalui jalur independen.
Misalnya, yang dapat menjadi caleg DPRD via jalur perseorangan adalah mereka yang mendapat dukungan minimal 5-10% dari jumlah pemilih di daerah tersebut, yang dibuktikan dengan tanda tangan dan salinan identitas pendukung.
Keuntungan anggota DPRD jalur perseorangan adalah tidak terikat dengan partai politik, sehingga lebih independen dalam mengambil keputusan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Sistem ini juga akan memperkuat demokrasi langusng, mengurangi dominasi partai politik dalam pengambilan keputusan, memberi ruang bagi tokoh masyarakat atau profesional untuk terjun ke politik tanpa harus bergabung dengan partai, serta mendorong akuntabilitas langsung kepada masyarakat.
Pertanyaannya, maukah kita mewujudkan model anggota DPRD Jalur Persorangan ini untuk menjemput ‘arahan’ Presiden agar Pilkada selanjutnya dilakukan via DPRD saja? Kita tunggu saja nanti. []