Bahwa mahasiswa adalah agent of social change, itu mungkin dulu.
Rasa-rasanya terlalu berlebihan berharap peran itu bisa diemban oleh mahasiswa jaman now yang durasi studinya lebih singkat, aturan kampus lebih ketat, dan interaksi sosialnya lebih terbatas.
Pada konteks kekinian, yang justru bisa berperan banyak dalam perubahan sosial adalah para netizen melalui medium sosial media dan internet.
Jika netizen bergerak serentak memviralkan suatu isu, maka bisa terjadi perubahan. Coba tengok sejumlah kasus hukum yang baru diproses pihak berwajib setelah diviralkan netizen di sosmed.
Itulah keniscayaan saat ini. Dunia yang bergerak begitu cepat, dengan segala dinamika perubahannya, menuntut kita untuk bisa beradaptasi. Demikian pula gerakan kemahasiswaan.
Turun berdemonstrasi dengan membakar ban dan menutup akses jalan, adalah pendekatan yang bukan hanya sudah tidak sesuai konteks kekinian, malah bisa menjadi bumerang yang kontraproduktif bagi citra gerakan mahasiswa.
Dulu, gerakan mahasiswa mungkin bisa begitu fundamental dan sangat berpengaruh dalam konteks sosial. Itu mungkin, menurut saya, karena pada konteks tersebut, mahasiswa lebih banyak tahu dan mengerti kondisi sosial politik yang ada.
Pada era keterbukaan informasi dan begitu mudahnya kita mengakses data akan fakta yang terjadi dewasa ini, maka posisi mahasiswa sebagai kelompok yang “lebih tahu” sesungguhnya sudah mulai tergerus.
Saat ini, asalkan bisa mengakses internet, punya akun sosial media, seorang rakyat biasa bahkan berpotensi lebih punya banyak informasi akan kondisi sosial politik yang tengah terjadi dibandingkan mahasiswa.
Karena itu, gerakan mahasiswa mau tak mau, sudah mesti mereposisikan diri pada model yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.
Satu hal yang tak dimiliki elemen lain yang dipunyai mahasiswa, khususnya di Indonesia adalah namanya sebagai “mahasiswa”.
Gelar itu, melekat sekaligus dengan tanggungjawab untuk menjadi elemen rakyat yang harus “lebih baik” dan lebih bisa memberikan kontribusi positif pada perubahan sosial di dalam masyarakat.
Singkatnya, untuk konteks kekinian, menurut saya mahasiswa harus menjadi “netizen yang lebih baik dan lebih mencerahkan” dibanding mereka yang bukan mahasiswa.
Dalam bahasa kerennya, mahasiswa kini harus berperan sebagai “smart netizen” atau sebagai “super netizen“.
Karenanya, istilah “turun ke jalan” bagi mahasiswa saat ini seharusnya mulai diletakkan pada bagaimana upaya mahasiswa menginisiasi dan menghegemoni isu-isu mainstream yang tengah trending di sosial media dan internet.
Pendekatan dengan model ini, tentu tidak akan banyak mengganggu waktu kuliah mahasiswa yang saat ini begitu mengikat dan terbatas, ketimbang mereka kita paksakan harus turun ke jalan berdemonstrasi lagi seperti senior-seniornya dulu.
Hanya dengan melakukan transformasi dan adaptasi demikian, maka gerakan mahasiswa bisa kembali menemukan jati dirinya sebagai agent of social change.
Saya percaya, setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya.
Meski dengan segala keterbatasannya sebagaimana saya sebutkan di bagian awal catatan ini, mahasiswa tetap harus berproses dengan semaksimal mungkin sesuai konteks yang ada, dan pada gilirannya melahirkan generasi calon-calon pemimpin masa depan bangsa yang lebih baik.
Asri Tadda
(Sekjen DPP Mileanies, Pegiat Sosial Media, Ketua BEM FK Unhas 2001-2002)
selamat malam kaka, saya sedang memulai blog, adakah tips-tips menjadi blogger ?
terimakasih
sangat inspiratif sekali, salam kenal kaka. apa boleh berbagi tipsnya ke saya untuk menjadi blogger, saya baru belajar ini.terima kasih