KENAIKAN harga beras yang terus berlangsung sepanjang tahun 2025 memantik perdebatan publik yang luas.
Di satu sisi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman secara konsisten mengumumkan capaian surplus produksi beras dengan cadangan pemerintah yang menembus rekor 4,8 juta ton.

Di sisi lain, masyarakat di pasar justru merasakan harga yang kian melambung, bahkan melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET).
Ketegangan antara data pemerintah dan realitas lapangan ini kemudian menguji kualitas komunikasi publik seorang menteri yang bertanggung jawab atas pangan pokok nasional.
Amran Sulaiman menampilkan gaya komunikasi yang tegas dan proaktif. Ia tidak hanya mengandalkan siaran pers, melainkan juga turun langsung ke lapangan.
Sidak ke Pasar Induk Cipinang, misalnya, dijadikan panggung untuk menyampaikan pesan utama bahwa stok beras nasional cukup, tidak ada alasan harga naik. Sikap ini mengesankan seorang pejabat yang tidak ragu menghadapi persoalan secara terbuka.
Komunikasi Amran juga sangat data-driven. Hampir setiap pernyataan publiknya disertai angka seperti berapa juta ton cadangan beras pemerintah, berapa banyak gabah yang diserap Bulog, hingga perbandingan harga gabah dengan HPP yang ditetapkan pemerintah.
Strategi berbasis angka ini membangun citra profesional dan kredibilitas, seolah semua keputusan dan klaim berlandaskan fakta kuantitatif yang terukur.
Sementara di ruang digital, Amran memanfaatkan media sosial untuk membingkai narasi besar ketahanan pangan Indonesia.
Pada forum internasional seperti KTT ASEAN, ia memamerkan surplus beras Indonesia, menghadirkan narasi optimisme bahwa negeri ini bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan sendiri, tapi juga siap berkontribusi pada stabilitas pangan kawasan.
Gaya ini memberi warna kepercayaan diri sekaligus memperluas panggung komunikasi ke level global.
Retorika Data vs Realitas Konsumen
Meski demikian, komunikasi berbasis data memiliki kelemahan. Publik di pasar seringkali tidak mengonsumsi angka, tetapi merasakan langsung harga beras yang naik dari Rp 12.500 menjadi Rp 15.000 atau bahkan lebih.

Di titik ini, data surplus dianggap sebagai retorika di atas kertas bila tidak diikuti distribusi nyata yang menurunkan harga di dapur masyarakat. Disparitas antara klaim dan realitas ini menimbulkan risiko erosi kepercayaan publik.
Pernyataan Amran yang membandingkan harga beras Indonesia dengan Jepang dalam rapat bersama Komisi IV DPR-RI baru-baru ini, juga menuai kritik yang cukup luas.
Komunikasi semacam ini, meski dimaksudkan untuk menekankan betapa murahnya beras di Indonesia, justru dianggap tidak sensitif terhadap daya beli rakyat.
Ketika masyarakat menjerit oleh harga Rp 15.000 per kilogram, membandingkannya dengan Rp 100.000 per kilogram di Jepang terdengar jauh dari empati.
Tegas, Namun Masih Kurang Empatik?
Dalam menghadapi isu manipulasi data stok beras, Amran menunjukkan sikap zero tolerance. Ia menegaskan bahwa proses hukum harus dilanjutkan meski pihak yang bersangkutan telah meminta maaf.

Komunikasi ini meneguhkan citra menteri yang tegas dan menjaga integritas data. Namun, gaya komunikasi keras seperti ini kadang menempatkannya lebih sebagai “penegak aturan” ketimbang “penyelesai masalah” atau problem solver yang dekat dengan keresahan publik.
Di sisi lain, Amran juga berusaha menekankan keberpihakan kepada petani. Kebijakan menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah ke Rp 6.500 per kilogram dijadikan narasi utama bahwa pemerintah tidak meninggalkan produsen pangan.
Namun lagi-lagi, pesan ini kurang menyentuh konsumen kelas bawah yang tertekan oleh harga beras eceran. Ada kesenjangan komunikasi antara kepentingan produsen dan konsumen yang belum dijembatani dengan bahasa yang menenangkan kedua belah pihak.
Dari Statistik ke Empati
Amran Sulaiman jelas punya kelebihan dalam menyusun narasi berbasis capaian konkret dan data statistik.
Gaya komunikasinya mengedepankan profesionalisme, keyakinan, dan optimisme. Namun, tantangan terbesarnya terletak pada bagaimana mengubah bahasa data menjadi bahasa empati, terutama untuk rakyat kebanyakan.

Publik tidak hanya butuh mendengar angka surplus, melainkan juga penjelasan sederhana, semisal kapan harga beras di pasar akan kembali normal, dan bagaimana pemerintah menjamin dapur masyarakat tetap mengepul.
Di era keterbukaan informasi, komunikasi publik bukan hanya soal menangkis isu dengan data, tetapi juga tentang membangun kepercayaan emosional.
Rakyat ingin mendengar bahasa yang menyentuh sisi keseharian mereka, paling tidak lahirnya rasa aman membeli beras dengan harga wajar.
Di titik inilah, komunikasi publik Mentan Amran diuji bukan sekadar lewat data dan sidak, tetapi melalui kemampuannya untuk menyeimbangkan retorika optimisme dengan bahasa keseharian rakyat. Tanpa itu, surplus yang besar tetap akan dianggap “surplus semu”. (*)