Kebijakan terbaru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terkait penghematan anggaran menuai protes keras masyarakat, tak terkecuali organisasi profesi tenaga medis yang secara langsung bersinggungan dengan pelayanan kepada pasien.
Dengan dalih keterbatasan anggaran, BPJS kini tidak lagi membiayai (secara penuh) pelayanan persalinan, penyakit katarak dan rehabilitasi medik.
Padahal, jumlah masyarakat yang menggunakan layanan tersebut sangat banyak. Mereka yang selama ini taat membayar premi sontak terkejut dan berteriak keras menolak kebijakan ini.
Untuk diketahui, BPJS merupakan pelaksana teknis Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) berdasarkan amanat UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Prinsip dasar JKN adalah gotong royong, artinya yang kaya mensubsidi yang miskin dan yang sehat mensubsidi yang sakit.
Sejak JKN mulai diberlakukan pada 2014, kunjungan pasien ke RS memang terus meningkat. Laporan perkembangan pelaksanaan JKN pada bulan Februari 2018 lalu menyebutkan bahwa pada tahun 2017 jumlah pemanfaatan layanan rawat inap di RS mencapai angka 8,72 juta, meningkat sekitar 200% dibandingkan tahun 2014.
Sementara pemanfaatan rawat jalan di RS juga naik dratis 300% dari hanya 21,3 juta di tahun 2014 menjadi 64,43 juta di tahun 2017.
Angka ini belum termasuk pemanfaatan layanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas, klinik pratama atau dokter praktek perorangan.
Tingginya pemanfaatan fasilitas kesehatan di tengah era JKN bisa merupakan hal baik sekaligus peringatan bagi pemerintah.
Baik jika kita memandang bahwa hal tersebut menggambarkan mulai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk berobat ke fasilitas kesehatan jika sakit. Menjadi peringatan keras jika kita menyadari bahwa fakta tersebut sebenarnya menjelaskan betapa masih sakitnya masyarakat kita setelah 73 tahun merdeka.
Betapapun demikian, dengan JKN, kita tetap patut berbangga karena setidaknya negara kita sudah selangkah lebih maju saat dimana belum banyak negara mampu melakukannya.
Hanya saja, masih banyak yang perlu dibenahi untuk dapat mencapai target ideal pembangunan kesehatan, yakni mengurangi orang yang sakit!
BPJS Defisit
Dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan BPJS sudah mengalami defisit. Pada tahun 2014 defisit anggaran perusahaan publik itu mencapai Rp3,3 triliun.
Angka itu membengkak menjadi Rp5,7 triliun tahun 2015 dan Rp9,7 triliun pada 2016. Tahun 2017 lalu, BPJS defisit hingga Rp10 triliun.
Defisit BPJS dominan disebabkan oleh klaim yang tinggi dari rumah sakit, baik milik pemerintah maupun swasta. Sekitar 80% biaya manfaat BPJS habis disektor ini.
Pada Mei 2018 lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan jumlah pendapatan iuran dari program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) hanya sebesar Rp 74,25 triliun. Sementara jumlah klaimnya mencapai Rp 84 triliun.
Sebagai catatan, BPJS menargetkan Universal Health Coverage (UHC) pada Januari 2019 nanti. Artinya, semua warga negara sudah menjadi anggota JKN dan memiliki kartu BPJS tanpa terkecuali, baik yang membayar secara mandiri maupun menjadi peserta yang dibayarkan pemerintah daerahnya masing-masing.
Sekilas, posisi BPJS sebagai penyelenggara JKN memang bak buah simalakama. Menaikkan besaran premi untuk menutup defisit bukan perkara mudah. Sementara suntikan dana dari pemerintah juga tidak bisa diandalkan karena minimnya anggaran.
Bagaimana Baiknya?
Mau tak mau, BPJS mesti melakukan penghematan anggaran. Banyak yang perlu dievaluasi kembali. Bukan hanya di sektor pelayanan, melainkan pula pada sisi manajemen BPJS sendiri.
Meski terbilang kecil, pengetatan anggaran di manajemen BPJS bisa berbuah simpati publik untuk setidaknya bisa merasa senasib sependeritaan.
Di sektor pelayanan, BPJS harus lebih tegas khususnya dalam mencegah terjadinya fraud (klaim palsu atau berlebihan) di fasilitas pelayanan kesehatan, terutama sektor swasta. Dari berbagai kajian terlihat potensi fraud sebenarnya tinggi sekali, meskipun susah dibuktikan secara langsung.
Opsi yang lain adalah besaran premi untuk peserta dengan penyakit resiko tinggi perlu disesuaikan lagi. Tidak boleh sama besarnya dengan peserta yang sehat-sehat saja.
Kesemua kebijakan ini boleh ditempuh BPJS tetapi dengan tidak melupakan prinsip pelayanan kesehatan berkualitas. Semua peserta, mau sakit apapun, idealnya tetap harus dibiayai oleh BPJS tanpa kecuali.
Pada sisi lain, pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab juga tidak boleh mengabakan fakta bahwa tidak ada warga negara yang mau sakit, semuanya ingin sehat.
Mereka jatuh sakit sebagian besar karena terpaksa, entah akibat lingkungan yang tidak mendukung kesehatan, nutrisi yang kurang, akses ke faskes susah dan sebagainya.
Karena itu, sembari terus memperbaiki kinerja BPJS, pemerintah -mau tak mau- tetap wajib memberikan solusi atas defisit yang terjadi. Jangan sampai hal ini menyebabkan rakyat tidak mendapatkan haknya atas pelayanan kesehatan yang berkualitas dan sesuai standar.
Dengan target UHC 2019, BPJS seharusnya sudah bisa mandiri, atau malah bisa mendapat profit, tidak defisit terus!
*) Asri Tadda adalah Direktur Eksekutif Madising Foundation