Oleh: Alwy Rachman
Manusia ditakdirkan lahir untuk kemudian menjadi narapidana di dalam pikirannya sendiri. (Satre)
ISU JENDER DAN KEKERASAN kini dipikirkan ulang. Di dalam satu publikasi Rethinking Violance Against Women (1998), antologi yang membahas masalah-masalah jender dan kekerasan secara meluas dan kaya perspektif, Irigaray menyusun model pemisah-batasan (demarkasi) antara tubuh secara biologis, tubuh secara sosial dan tubuh secara simbolik.
Model pemisah-batasan ini kemudian dipromosikan sebagai “Hirarki Ontologi Seksualitas”.
Model ini tersusun dari tiga aras yang secara hirarkis menempatkan “biologi” sebagai dunia yang statis (static world) dan “simbol” sebagai dunia yang cair (fluid world). Keduanya dihubungkan oleh “dunia sosial” (social world) yang berfungsi sebagai aras perantara (intermediate level).
Hirarki Ontologi Seksualitas ini dibangun dan disusun berdasarkan filosofi yang berfokus pada adanya kontradiksi antara seksualitas taktil perempuan (tactile sexuality of women) dan seksualitas pallik lelaki (phallic sexuality of man).
Ia kemudian dipakai untuk mencari penjelas terhadap perbedaan-perbedaan di kedua seksualitas perempuan dan lelaki, menyangkut cara berpikir dan cara berbahasa. Perbedaan tubuh secara biologi dan perbedaan karakteristik seksualitas banyak dipotret berdasarkan analisis di setiap susunan aras di hirarki ini.
Di aras biologi, perbedaan seksualitas adalah perbedaan yang bersifat alami. Oleh karenanya, perbedaan biologi adalah sesuatu yang bersifat statis.
Dengan pengungkapan lain, sejauh bersifat biologis, seksualitas perempuan dan lelaki sama sekali tidak conflicting,kecuali pada`cara menggunakan terminologi berdasarkan bukti-bukti biologi.
Aras biologi telah memunculkan isu inti yang banyak mengalami pengayaan dari para peneliti. Di satu sisi, bagi kelompok peneliti tertentu, faktor biologi merupakan kunci untuk membedakan seks dan jender.
Melalui uraian lebar panjang tentang konsekuensi penggunaan terminologi seks dan jender, Douglas A. Gentile (1998) yang bekerja pada institut pertumbuhan anak-anak, misalnya, pada akhirnya menyarankan agar terminologi seks sebaiknya dipahamami sebagai properti biologi (misalnya, perempuan dan lelaki) sementara terminologi jender sebaiknya dimengerti sebagai properti sosiokultural (misalnya, maskulinitas dan feminitas).
Di sisi lain, bagi kelompok peneliti lain, terminologi seks sebagai properti biologi memunculkan problematika sendiri.
Anne-Sterling(1933), misalnya, agak keberatan dengan konsepsi dua seks — perempuan dan lelaki. Meskipun demikian, Anne sangat sadar bahwa kebudayaan Eropa secara sangat dalam hanya committed pada konsepsi dua seks.
Anne kemudian menambahkan 3 (tiga) seks lain selain female dan male. Secara keseluruhan, konsepsi 5 (lima) seks diintrodusir ke dalam satu tulisan “The Five Sexes: Why Male and Female are Not Enough”.
Dalam bahasa Anne, selain female dan male, rincian 3 seks itu, masing-masing; (1) The Herms (hermaphrodites) yang memiliki satu testis dan satu ovary; (2) The Merms (the male pseudohermaphrodites) yang memiliki testis dan dalam banyak aspek, memiliki female genetalia tetapi tanpa ovary; (3) The Ferms (female pseudohermaphrodites) yang memiliki ovary dan dalam banyak aspek memiliki male genetalia tetapi tanpa testis.
Berbeda dengan aras biologi, persoalan-persoalan seksualitas perempuan-lelaki justru menemukan momentumnya dan membesar di aras perantara (intermediate level), yaitu di aras sosial. Momentum dan pembesaran masalah ini lebih disebabkan oleh berbagi hal. Pertama, kultur yang hidup di dunia sosial tidak bersifat homogen.
Cara pandang terhadap peran perempuan dan peran lelaki menampakkan diri secara berbeda dari satu kaum ke kaum yang lain. Kedua, otoritas sosial dan juga ikatan-ikatan sosial yang menghubungkan perempuan dengan lelaki juga berbeda.
Otoritas dan ikatan sosial semacam inilah yang menjadi kawasan eksplorasi bagi para ilmuan untuk memahami masalah-masalah jender. Itu pula sebabnya, para peneliti jender berkecenderungan menempatkan isu jender sebagai isu yang harus dipandang berdasarkan pemahaman lintas-budaya (cross-cultural), jika tidak ingin dikatakan sebagai isu lintas-bangsa (cross-national).
Cara memandang masalah jender, secara lintas-budaya dan lintas-bangsa, lebih didasari oleh kemawasan jender oleh para peneliti (gender awareness) bahwa cara memandang seperti ini akan mampu memunculkan aspek-aspek dan faktor-faktor perbedaan yang mencakup, misalnya; geografi, sumberdaya alam, pola migrasi, sejarah, sistem politik dan religi yang secara keseluruhan mempengaruhi ketimpangan ataupun kesetaraan jender.
Dengan kemawasan seperti ini, para ilmuan dapat mengetahui bahwa setiap kultur menyediakan pengetahuan dan cara pandang (world view) terhadap jender secara berbeda dari satu tradisi ke tradisi lain.
Sebagai contoh, jika di tradisi Barat jender secara tradisional dikategorikan ke dalam dua seks utama — perempuan dan lelaki — maka lain halnya dengan komunitas Hua. Di tradisi Hua, maskulinitas dianggap sebagai status tinggi, tetapi secara fisik lemah dan tanpa otoritas.
Justru di tradisi Hua, maskulinitas lelaki akan memudar sejalan dengan pertambahan usia dan akan tergantikan oleh perempuan melalui pengasuhan anak. Perempuan yang telah melahirkan tiga anak, di tradisi ini, diberi hak untuk berpartisipasi dalam upacara ritual lelaki. Dan, dengan demikian, otoritas perempuan semakin membesar sejalan dengan pertambahan usianya dan kemampuannya mengayomi anak-anak.
Di tradisi masyarakat kontemporer, kesetaraan jender disorot berdasarkan kerangka berpikir untuk meniadakan kekerasan dan kekejaman, baik dari sisi struktural maupun dari sisi fisikal.
Analisis jender juga dijadikan sebagai wahana untuk menyorot masyarakat yang sedang tertekan, sebagai akibat lanjut dari modernisasi, kolonisasi, terorisme, perang, konflik politik atau sebagai akibat dari perubahan sosial dan konflik komunal.
Di aras simbolik, dengan mengikuti alur pikir Irigaray, perempuan dan lelaki terekspresikan melalui basis simbolik yang berbeda. Sistem simbol yang berbeda tampaknya mempertalikan secara erat hubungan antara morfologi bahasa dengan morfologi genital.
Dengan merujuk Freud, Irigaray menganggap bahwa bahasa dibentuk oleh unsur visual. Dan, seksualitas perempuan dianggap tidak visual dan dengan demikian dianggap tak berbahasa.
Irigaray dengan sangat tajam mempersoalkan penggunaan simbol-simbol bahasa, baik yang terpakai melalui kekuasaan dan otoritas maupun yang terpakai dan diintrodusir oleh pemikiran-pemikiran teologi.
Sorotan dan kritik Irigaray tertuju pada pandangan bahwa kelamin perempuan bersifat jamak (plural), tak membatas (undelimited) dan tak tampak (unseen). Baginya, pandangan seperti ini mendislokasi kelamin perempuan sebagai entitas yang tidak eksis, yang menempatkan kelamin perempuan sebagai “penerima” (receiver) saja.
Bagi Irigaray, pandangan seperti ini menyimpan dua dualitas (duality) yaitu, secara spesifik, Dualitas Kekejaman dan Kasih Sayang (The Duality of Abuse and Affection) yang termanifestasi ke dalam simbol-simbol bahasa serta Dualitas Prinsip Kekuasaan Tuhan dan Prinsip Pemberontakan Setan (The Authority of Principle of God and The Rebellious Principle of Satan) yang terdengar melalui pemikiran-pemikiran teologi.
Dua dualitas ini yang menyebabkan perempuan agak risih menemukan dan menjelaskan aspek-aspek kekejaman yang muncul di antara pola hubungan perempuan dan lelaki.
TERLEPAS DARI KETAJAMAN IRIGARAY, hirarki yang disusunnya mengundang reaksi dan respon dari berbagai pihak. Pertama, Evan Lundgren, seorang mahaguru Feminist Studies in Sociology, menganggap bahwa hirarki Irigaray justru merupakan cara mentransendensi “kekuatan” seksualitas lelaki.
Kalau Irigaray mencoba membangun hubungan antara morfologi genital dan morfologi bahasa, Irigaray seharusnya membuktikan bahwa ia tidak hanya dapat mempertalikan secara signifikan sistem bahasa yang berstruktur maskulin, sebelum kalangan feminis melakukan “pemberontakan” bahasa dan mengindentifikasi bahasa seksualitas perempuan dan kemudian membangun komunikasi alternatif berdasarkan bahasa berstruktur feminin.
Itu pula sebabnya, menurut Evan, kegelisahan pada seksualitas perempuan yang dianggap tak tampak dan tak visual sesungguhnya tidak lebih dari monopoli bahasa.
Monopoli bahasa seperti ini, lanjut Evan, tidak membuka kemungkinan untuk membangun pemahaman kultur secara bersama dalam mempelajari bahasa dari dua seksualitas, terlepas apakah kedua seksualitas itu bersifat phallic, visible, explicit, undelimited, atau tangible.
Irigaray seharusnya membangun keakraban terhadap morfologi seksualitas perempuan, bukan yang selama ini dilihatnya sebagai hasil penaklukan jender (gender subjugation) dan bukan juga sebagai morfologi seksualitas yang secara awal diinterpretasi sebagai entitas yang tak tampak, defisit, dan vacum.
Kedua, hirarki Irigaray terhadap kelamin perempuan-lelaki disusun berdasarkan azas pasangan-pertentangan (binary-opposition), bukan azas yang menempatkan kelamin yang satu adalah alternatif eksklusif bagi kelamin lain.
Di hadapan Evan, Irigaray tidak menciptakan satu dorongan untuk memodifikasi keterbatasan yang terdapat pada definisi seksualitas, tetapi malah larut dalam ironi, mimetik dan peniruan.
Ketiga, dunia sosial adalah ruang yang sarat dengan sosialisasi, termasuk proses pengenalan dan pemaknaan atas tubuh perempuan dan tubuh lelaki. Dunia sosial lah yang menempatkan tubuh sebagai sebuah arena dan sebagai titik tolak (point of departure).
Dunia sosial adalah dunia jender, bukan sekedar dunia kelamin. Itu pula sebabnya, tangan dan kaki serta gerak anggota tubuh lainnya dapat dimasukkan ke dalamnya. Kemajemukan dunia sosial adalah arena yang dapat dipakai untuk mengembangkan dan merumuskan norma-norma jender yang fleksibel, mencakup variasi yang dapat membuka peluang terjadinya perubahan terhadap rumusan norma-norma jender, termasuk di dalamnya cara bereaksi, cara berkomunikasi dan cara membangun simbol.
Keempat, persoalan ketidaksetaraan jender selama ini terletak pada kekerasan seksual. Kekerasan seksual di mana-mana bersifat korporealitas (corporeality), suatu realitas kekerasan badaniah yang terstruktur melalui hukum-hukumnya sendiri.
Melalui umpan balik dari peneliti lain, kekerasan seksual yang fenomenal terhadap perempuan dikenali melalui delapan modus, masing-masing:
- Kekerasan dalam bentuk pemerkosaan oleh kelompok-kelompok gang, perdagangan perempuan (traficking in women), pemaksaan menjadi pekerja seks. Kesemua kekerasan ini berhubungan dengan gravitasi tubuh perempuan dalam situasi perang dan konflik.
- Pemerkosaan perempuan di setiap peristiwa perang adalah pengrusakan (retaliation) terhadap kepemilikan lelaki dan juga berfungsi sebagai pesan kepada musuh.
- Pemerkosaan adalah pernyataan atau pesan yang diletakkan ke tubuh perempuan.
- Pemerkosaan adalah pembersihan teritori lelaki karena lelaki tidak akan pulang ke lokasi tempat ia dihinakan.
- Perempuan yang diperkosa oleh tentara, dapat dikorbankan lagi oleh lelakinya sendiri (keluarga sendiri) dengan alasan pemerkosaan itu telah menghancurkan kehormatan dan martabat pribadi atau keluarga.
- Perkosaan terhadap perempuan oleh tentara dimaksudkan untuk mengeliminasi frustrasi terhadap hirarki kehidupan militer.
- Pemerkosaan juga dimaksudkan untuk mempertahankan moral militer dan membangkitkan semangat perang.
- Pemerkosaan yang disebabkan oleh perilaku seksual agresif dan dominatif. Ketergantungan sosial dan ketergantungan ekonomi membatasi perempuan menegosiasi seks secara lebih aman. Di dalam situasi konflik, perempuan dipaksa membarter seksnya demi keselamatannya sendiri. Terhadap modus seperti di atas, banyak pakar berpendapat bahwa modus-modus ini berakar pada pandangan bahwa perempuan memang sebagai properti lelaki.
Kelima, pemikiran-pemikiran teologi, dalam kenyataannya, tidak selalu bersahabat dengan perempuan.
Pemikiran-pemikiran sebagaimana yang dimaksud, tanpa disadari, sering menjelma menjadi tempat terkonsentrasinya dinamika simbol jender, yang kemudian memanifestasi ke dalam ketidaksetaraan jender.
Dualitas, sebagaimana digambarkan sebelumnya, oleh Evan, adalah bangunan eksistensi, kosmik di satu pihak dan etik di lain pihak.
Terakhir, demarkasi jender memang masih sangat hidup dan secara kepala batu berdiam di dunia sosial. Diskursus atau wacana pembedaan jender dengan cara seperti ini justru akan menciptakan polarisasi secara kuat.
Tidak mengherankan, jika tindakan pelintasan terhadap demarkasi jender seringkali dianggap sebagai tindakan “berbahaya” dan “terlarang”.
[Artikel ini adalah republikasi. Sumber asli di sini]