Setiap tanggal 23 Januari diperingati sebagai Hari Perlawanan Rakyat Luwu. Ada beragam acara diselenggarakan untuk memeriahkan momen tersebut, dipusatkan di Tana Luwu yang saat ini terdiri atas 3 daerah kabupaten (Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur) dan sebuah kota (Palopo).
Pada 23 Januari 1946 lalu, Datu Luwu Andi Djemma memimpin perlawanan semesta rakyat terhadap kekuasaan penjajahan kolonial di wilayah Luwu yang saat itu diboncengi tentara NICA (Nederlans Indiscehe Company Administration).
Perlawanan semesta rakyat Luwu tercatat dalam sejarah karena merupakan perlawanan terbesar dan terluas hingga sepanjang 200 km. Peristiwa ini merupakan salah satu rangkaian proses perjuangan bangsa Indonesia yang cukup panjang untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Meski dengan kekuatan yang tidak seimbang, tetapi berkat perencanaan yang matang, persatuan dan semangat senasib-sepenanggungan, rakyat Luwu yang bahu-membahu mampu melumpuhkan musuh dan menguasai kota Palopo selama 3 hari sebelum bala bantuan musuh datang dari Makassar.
Tidak sedikit korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Mereka yang gugur telah terpatri sebagai pahlawan bangsa yang merelakan jiwa raganya untuk kebaikan generasi-generasi sesudah mereka, generasi-generasi kita yang selalu memperingati tanggal 23 Januari itu.
Momentum 23 Januari mengajarkan kepada kita bahwa penjajahan adalah musuh bersama, dan menjadi niscaya untuk diperjuangkan hingga kapan pun. Tana Luwu yang selalu mengusung jargon “wanua mappatuo naewai alena” semestinya memberikan toleransi 0% kepada setiap bentuk ‘penjajahan’ di wilayah ini.
Penjajahan selalu meninggalkan residu kemanusiaan yang sangat menyayat hati. Kemiskinan dan ketidakadilan adalah dua diantaranya. Saat ini, penjajahan telah beralihrupa ke dalam banyak bentuk, bukan lagi hanya dengan senjata, tetapi lewat pemikiran, ekonomi, sosial-politik dan lain sebagainya.
Dengan momentum peringatan Hari Perlawanan Rakyat Luwu ini, kita seolah diajak kembali untuk menguatkan semangat kebersamaan melawan segala bentuk penjajahan, khususnya di Tana Luwu tercinta.
Kita berharap, melalui seremonial tahunan seperti ini, rakyat Luwu berserta Pemerintah Daerah se-Tana Luwu, senantiasa mengedepankan perbaikan nasib rakyat dalam setiap program pembangunan yang dijalankan menuju Tana Luwu yang ‘menghidupkan’ dan mampu menangani dengan baik setiap masalahnya sendiri, dan menemukan solusi untuk itu.
Dengan membangun Tana Luwu lebih baik, tentu akan menjadi tidak mudah untuk dijajah oleh pihak manapun lagi. Semangat kebersamaan dan spirit menghidupkan Tana Luwu seperti itu, hanya bisa terawat jika kita senantiasa mengedepankan paradigma ke-Luwu-an dalam segenap aspek kehidupan, termasuk di bidang sosial politik yang seringkali liar dan tak terkendali belakangan ini.
Bukankah ‘Tana Luwu’ hanya akan benar-benar dianggap terwujud jika masyarakatnya sudah bisa merasakan hidup adil makmur dan sejahtera sebagaimana semboyan wanua mappatuo naewai alena itu? []
** Artikel ini juga telah dimuat dalam Harian Palopo Pos edisi Selasa, 28 Januari 2020.