JAMINAN Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan merupakan tonggak penting dalam upaya negara mewujudkan perlindungan kesehatan semesta bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejak diluncurkan pada tahun 2014, program ini telah menjadi instrumen vital dalam menjamin akses layanan kesehatan yang lebih merata di berbagai lapisan masyarakat, baik di perkotaan maupun pedesaan.
Dalam praktiknya, keberhasilan JKN tidak hanya ditentukan oleh regulasi nasional, tetapi juga oleh efektivitas pengelolaan di tingkat daerah, terutama pada Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai ujung tombak layanan rujukan.
Namun, perjalanan pelaksanaan JKN tidak luput dari persoalan serius, terutama terkait tata kelola dana. Sejumlah kasus penyalahgunaan anggaran JKN di RSUD menimbulkan pertanyaan mendasar tentang akuntabilitas, transparansi, dan distribusi kewenangan.
Kasus dugaan korupsi di RSUD Syekh Yusuf Gowa senilai Rp3,3 miliar (2018–2023), serta temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di RSUD Aceh Besar, menunjukkan bahwa persoalan tata kelola dana JKN bukanlah isu insidental, melainkan masalah struktural yang membutuhkan pembenahan sistemik.
Salah satu titik krusial yang kerap menjadi perdebatan adalah posisi direktur RSUD. Dengan kewenangan yang sangat besar dalam mengatur distribusi dana JKN, direktur sering kali berada dalam posisi dilematis.
Di satu sisi direktur RSUD terikat oleh regulasi nasional yang ketat, sementara di sisi lain menghadapi tekanan internal dari tenaga kesehatan dan birokrasi lokal. Kondisi ini menciptakan ambiguitas kewenangan yang rentan menimbulkan praktik moral hazard dan penyalahgunaan anggaran.
Berdasarkan fenomena tersebut, saya mencoba membuat kajian untuk menelaah lebih dalam persoalan tata kelola dana JKN di RSUD dengan menggunakan pendekatan akademik. Naskah lengkapnya bisa diunduh di sini.
Melalui analisis teori principal–agent, studi kasus, serta telaah regulasi daerah, dokumen ini berupaya memberikan alternatif solusi kebijakan yang dapat memperkuat akuntabilitas dan melindungi direktur RSUD dari kerentanan struktural.
Dengan demikian, diharapkan hasil kajian ini dapat menjadi rujukan bagi pemerintah daerah, pembuat kebijakan, akademisi, dan masyarakat sipil dalam mendorong perbaikan tata kelola kesehatan yang lebih transparan dan berkeadilan.